SELAMAT DATANG DI BLOGGER "SYAINULLAH WAHANA" SEMOGA BERMANFAAT ---(TERIMA KASIH)---

Jumat, 30 Mei 2014

PEMBANGUNAN EKONOMI BIRU INDONESIA SEBAGAI NEGARA MARITIM


Oleh: Syainullah Wahana
Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar 

 
Informasi dari Data FAO (2008) menyebutkan bahwa Indonesia menempati peringkat keempat produsen perikanan dunia setelah Cina, Peru, dan AS. Sayangnya, nilai ekonomis produksi perikanan kita hanya menempati peringkat kesepuluh dunia. Kalah dibandingkan Vietnam dan Thailand. Secara teknis keterbatasan infrastruktur, rendahnya aliran investasi, kurangnya inovasi teknologi, lemahnya SDM, serta banyaknya pencurian ikan oleh pihak asing menjadi faktor penghambat penyebabnya. Selain itu, kebijakan ekonomi mikro yang tidak berpihak, gonjang-ganjing politik, lemahnya penegakan hukum nasional, serta kelembagaan yang tidak kondusif bagi pembangunan perikanan juga merupakan hambatan struktural. Selama kedua masalah ini belum dapat dipecahkan, potensi perikanan yang ibarat “raksasa tidur” itu hanya menjadi “harta karun” yang dimanfaatkan oleh masyarakat asing saja dan bukan dirasakan oleh masyarakat Indonesia itu sendiri.
  
Sejarah kelautan dan perikanan selalu ditandai oleh kecenderuangan prubahan produksi subsisten untuk keperluan sendiri yang menjadi produksi untuk pasar. Tidak menutup kemungkinan bahwa akibat struktur pasar yang timpang dan diskriminatif serta anjloknya harga di pasar komoditi membuat nelayan berorientasi pasar bisa bernasib lebih buruk ketimbang misalnya petani subsiten karena lebih bergantung pada kondisi alam. Meski demikian, sebuah strategi pembangunan kelautan dan perikanan berkelanjutan tidak berarti kembali ke perikanan berorientasi subsisten.

Yang seharusnya dilakukan adalah memengaruhi proses di mana tiga dimensi masing-masing ketahanan pangan, pengamanan pendapatan, dan pembangunan berkelanjutan yang dalam penerapannya seringkali mempunyai tujuan yang saling bertentangan (zeil konflikte) agar bersinergi satu dengan lainnya. Bagi sektor perikanan secara bertahap harus diadakan optimalisasi penangkapan ikan sambil menjaga kelestarian laut. Artinya, selain adanya peningkatan fishing effort (upaya penangkapan) dan intensitas penangkapan (jumlah nelayan dan jumlah kapal ikan, termasuk pembangunan galangan kapal ikan), harus pula dilakukan semacam pemetaan daerah mana saja yang telah overfishing dan mana saja yang belum. Secara umum, yang menghadapi kesulitan dalam pengamanan pangan adalah para nelayan. Ini juga disebabkan oleh urban bias dalam kebijakan pemerintah yang lebih menguntungkan atau mengacu pada kepentingan orang kota. Salah satu faktor penting dalam pembangunan kelautan dan perikanan berkelanjutan berkaitan dengan terumbu karang dan mangrove. Dimana, terumbu karang Indonesia yang luasnya 60.000 – 86.000 kilometer persegi adalah sama dengan luas seperdelapan luas terumbu karang dunia. Bukti hasil penelitian 2001 oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan mencatat setidaknya 70 persen terumbu karang di Indonesia dalam keadaan rusak parah. Akibatnya, Indonesia menderita kerugian sekitar dua juta ton ikan per tahun. Kerugian juga dirasakan oleh nelayan tradisional yang umumnya tidak melaut melebihi 12 mil dari tepi pantai.    
   
Suatu masalah yang miris juga terjadi di kawasan pagar nusantara kita yaitu dimana, Indonesia memiliki Hutan Mangrove yang sangat luas dan kini mungkin telah banyak ekosistemnya terdegradasi akibat penebangan dan konversi lahan mangrove menjadi tambak-tambak intensif dimana dalam waktu yang lama dipertanyakan produktifitas tambaknya. Bahkan hutan Mangrove di anggap sarang nyamuk dan hanya berguna sebagai kayu bakar. Padahal, akar-akar napas mangrove dapat menstabilkan pantai dengan menangkap berbagai bahan baik dari darat maupun dari laut. Sehingga menjadi ekosistem yang sangat subur. 

Pembangunan perikanan berkelanjutan mensyaratkan pembalikan resep-resep standar selama ini, baik itu berupa kebijakan modernisasi lewat program “Revolusi Biru” yang dicanangkan pemerintah saat ini maupun usulan alternatif seperti cara berproduksi subsisten, kebijakan swasembada pangan, serta kampanye antiekspor. Selain itu juga perlu optimalisasi penyesuaian pada ekologi (lokal) serta persyaratan ekonomi dan sosial. Dalam kaitannya dengan pengentasan kemiskinan di daerah pedesaan, yang lebih penting adalah penghasilan yang diperoleh nelayan serta kestabilan dan distribusi produknya dibandingkan apa jenis produk yang dihasilkan. Dikaitkan dengan lemahnya ekonomi dan kehidupan rumah tangga nelayan, persiapan ke depan harus mencakup upaya memberdayakan nelayan. Ada paradigma yang sengaja dibangun pada masa lalu yang mengatakan, amat sulit bahkan tidak mungkin nelayan bebas kemiskinan karena kulturnya tidak mendukung. Kenyataan di mancanegara menunjukkan banyak contoh yang merupakan pembalikan paradigma tersebut. Tentu saja, dalam kondisi saat ini dibutuhkan program pemihakan sehingga gap antara nelayan kecil dan para bandar ikan serta pengusaha bisa diperkecil. Perikanan berkelanjutan sangat bergantung pada pembangunan struktur perdesaan, terutama desa pesisir, yang terintegrasi secara regional dan nasional. Dalam kaitan ini beberapa bidang berikut berperan menentukan. Ada beberapa hal yang menentukan keberhasilan pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Pertama, struktur pemilikan dan penghasilan yang berperan dalam distribusian pendapatan. Kedua, struktur kelembagaan yang mengemankan dan boleh pemerataan yang menguntungkan nelayan tradisional bermodal kecil seperti pemasaran dan akses kredit, konseling perikanan, dan peningkatan posisi tawar secara politis. Ketiga, infrastruktur material dan sosial seperti pendidikan, kesehatan transportasi dan komunikasi. Terakhir, perbaikan struktur ekonomi terutama dengan bidang perikanan serta ketersediaan lapangan kerja di luar sektor perikanan. Sektor kelautan tidak boleh hanya dipandang dari sudut hubungan antara nelayan dan laut, tetapi dalam keterkaitan struktural pembangunan pedesaan yang tentu saja juga tergantung pada perkembangan nasional maupun global (Hadar, 2013). Untuk itu, penghasilan nelayan harus menjadi ukuran situasi ekonomi penduduk perdesaan. Selain itu, pemberlakuan kebijakan perikanan berkelanjutan mensyaratkan transformasi sosio-kultural berupa pengembangan kearifan lokal atau tradisional, pembaruan pemahaman tentang pembangunan, serta penilaian baru tentang kondisi dan persyaratan katahanan alam.


KONSEP EKONOMI BIRU UNTUK BANGSA INDONESIA


OLEH: SYAINULLAH WAHANA (P3300213416) 
Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Informasi dari Data FAO (2008) menyebutkan bahwa Indonesia menempati peringkat keempat produsen perikanan dunia setelah Cina, Peru, dan AS. Sayangnya, nilai ekonomis produksi perikanan kita hanya menempati peringkat kesepuluh dunia. Kalah dibandingkan Vietnam dan Thailand. Secara teknis keterbatasan infrastruktur, rendahnya aliran investasi, kurangnya inovasi teknologi, lemahnya SDM, serta banyaknya pencurian ikan oleh pihak asing menjadi faktor penghambat penyebabnya. Selain itu, kebijakan ekonomi mikro yang tidak berpihak, gonjang-ganjing politik, lemahnya penegakan hukum nasional, serta kelembagaan yang tidak kondusif bagi pembangunan perikanan juga merupakan hambatan struktural. Selama kedua masalah ini belum dapat dipecahkan, potensi perikanan yang ibarat “raksasa tidur” itu hanya menjadi “harta karun” yang dimanfaatkan oleh masyarakat asing saja dan bukan dirasakan oleh masyarakat Indonesia itu sendiri.   


Sejarah kelautan dan perikanan selalu ditandai oleh kecenderuangan prubahan produksi subsisten untuk keperluan sendiri yang menjadi produksi untuk pasar. Tidak menutup kemungkinan bahwa akibat struktur pasar yang timpang dan diskriminatif serta anjloknya harga di pasar komoditi membuat nelayan berorientasi pasar bisa bernasib lebih buruk ketimbang misalnya petani subsiten karena lebih bergantung pada kondisi alam. Meski demikian, sebuah strategi pembangunan kelautan dan perikanan berkelanjutan tidak berarti kembali ke perikanan berorientasi subsisten.

Yang seharusnya dilakukan adalah memengaruhi proses di mana tiga dimensi masing-masing ketahanan pangan, pengamanan pendapatan, dan pembangunan berkelanjutan yang dalam penerapannya seringkali mempunyai tujuan yang saling bertentangan (zeil konflikte) agar bersinergi satu dengan lainnya. Bagi sektor perikanan secara bertahap harus diadakan optimalisasi penangkapan ikan sambil menjaga kelestarian laut. Artinya, selain adanya peningkatan fishing effort (upaya penangkapan) dan intensitas penangkapan (jumlah nelayan dan jumlah kapal ikan, termasuk pembangunan galangan kapal ikan), harus pula dilakukan semacam pemetaan daerah mana saja yang telah overfishing dan mana saja yang belum. Secara umum, yang menghadapi kesulitan dalam pengamanan pangan adalah para nelayan. Ini juga disebabkan oleh urban bias dalam kebijakan pemerintah yang lebih menguntungkan atau mengacu pada kepentingan orang kota. Salah satu faktor penting dalam pembangunan kelautan dan perikanan berkelanjutan berkaitan dengan terumbu karang dan mangrove. Dimana, terumbu karang Indonesia yang luasnya 60.000 – 86.000 kilometer persegi adalah sama dengan luas seperdelapan luas terumbu karang dunia. Bukti hasil penelitian 2001 oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan mencatat setidaknya 70 persen terumbu karang di Indonesia dalam keadaan rusak parah. Akibatnya, Indonesia menderita kerugian sekitar dua juta ton ikan per tahun. Kerugian juga dirasakan oleh nelayan tradisional yang umumnya tidak melaut melebihi 12 mil dari tepi pantai.     
  
Suatu masalah yang miris juga terjadi di kawasan pagar nusantara kita yaitu dimana, Indonesia memiliki Hutan Mangrove yang sangat luas dan kini mungkin telah banyak ekosistemnya terdegradasi akibat penebangan dan konversi lahan mangrove menjadi tambak-tambak intensif dimana dalam waktu yang lama dipertanyakan produktifitas tambaknya. Bahkan hutan Mangrove di anggap sarang nyamuk dan hanya berguna sebagai kayu bakar. Padahal, akar-akar napas mangrove dapat menstabilkan pantai dengan menangkap berbagai bahan baik dari darat maupun dari laut. Sehingga menjadi ekosistem yang sangat subur.


Melihat Visi Pembangunan Kelautan dan Perikanan Indonesia

Suatu sistem pembangunan kelautan dan perikanan yang dapat memanfaatkan sumberdaya ikan beserta ekosistem perairannya untuk kesejahteraan bangsa, terutama nelayan dan petani ikan secara berkelanjutan.

INDONESIA MEMILIKI SUMBERDAYA PERIKANAN YANG MELIMPAH DAN BELUM BANYAK DIKETAHUI OLEH MASYARAKAT PADA UMUM
           
Pembangunan perikanan berkelanjutan mensyaratkan pembalikan resep-resep standar selama ini, baik itu berupa kebijakan modernisasi lewat program “Revolusi Biru” yang dicanangkan pemerintah saat ini maupun usulan alternatif seperti cara berproduksi subsisten, kebijakan swasembada pangan, serta kampanye antiekspor. Selain itu juga perlu optimalisasi penyesuaian pada ekologi (lokal) serta persyaratan ekonomi dan sosial. Dalam kaitannya dengan pengentasan kemiskinan di daerah pedesaan, yang lebih penting adalah penghasilan yang diperoleh nelayan serta kestabilan dan distribusi produknya dibandingkan apa jenis produk yang dihasilkan. Dikaitkan dengan lemahnya ekonomi dan kehidupan rumah tangga nelayan, persiapan ke depan harus mencakup upaya memberdayakan nelayan. Ada paradigma yang sengaja dibangun pada masa lalu yang mengatakan, amat sulit bahkan tidak mungkin nelayan bebas kemiskinan karena kulturnya tidak mendukung.

Kenyataan di mancanegara menunjukkan banyak contoh yang merupakan pembalikan paradigma tersebut. Tentu saja, dalam kondisi saat ini dibutuhkan program pemihakan sehingga gap antara nelayan kecil dan para bandar ikan serta pengusaha bisa diperkecil. Perikanan berkelanjutan sangat bergantung pada pembangunan struktur perdesaan, terutama desa pesisir, yang terintegrasi secara regional dan nasional. Dalam kaitan ini beberapa bidang berikut berperan menentukan.

Ada beberapa hal yang menentukan keberhasilan pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Pertama, struktur pemilikan dan penghasilan yang berperan dalam distribusian pendapatan. Kedua, struktur kelembagaan yang mengemankan dan boleh pemerataan yang menguntungkan nelayan tradisional bermodal kecil seperti pemasaran dan akses kredit, konseling perikanan, dan peningkatan posisi tawar secara politis. Ketiga, infrastruktur material dan sosial seperti pendidikan, kesehatan transportasi dan komunikasi. Terakhir, perbaikan struktur ekonomi terutama dengan bidang perikanan serta ketersediaan lapangan kerja di luar sektor perikanan. Sektor kelautan tidak boleh hanya dipandang dari sudut hubungan antara nelayan dan laut, tetapi dalam keterkaitan struktural pembangunan pedesaan yang tentu saja juga tergantung pada perkembangan nasional maupun global (Hadar, 2013)

Untuk itu, penghasilan nelayan harus menjadi ukuran situasi ekonomi penduduk perdesaan. Selain itu, pemberlakuan kebijakan perikanan berkelanjutan mensyaratkan transformasi sosio-kultural berupa pengembangan kearifan lokal atau tradisional, pembaruan pemahaman tentang pembangunan, serta penilaian baru tentang kondisi dan persyaratan katahanan alam.


ENAM AGENDA BESAR MEMBANGUN KELAUTAN DAN PERIKANAN
(Dahuri, 2013)

 Basis Orientasi Pembangunan Kelautan dan Perikanan

Potret pembangunan kelautan Indonesia pada masa lalu menunjukkan bahwa kegiatan di sektor kelautan dan perikanan didominasi oleh kegiatan-kegiatan yang bersifat ekstraktif, seperti penangkapan ikan, penambangan bahan tambang dan mineral, penebangan dan konversi hutan mangrove, dan aktivitas kepelabuhanan dan perhubungan laut yang kurang atau tidak mengindahkan aspek kelestarian lingkungan.

Penjelasan di atas akibat dalam pengelolaan pembangunan kelautan sangat di warnai oleh rezim yang bersifat (1) open acces (siapa saja, kapan saja, di mana saja, dan berapa saja boleh mengeksploitasi sumber daya alam kelautan), (2) sentralistik (top-down), dan (3) penyeragaman – kurang atau tidak memperhatikan keragamman biofisik alam dan sosiokultural masyarakat lokal (daerah).  Lebih dari itu, kurangnya kesadaran yang sinergis antara pelaku pembangunan kelautan besar dan komersial (sector modern) dengan kelompok usaha kecil dan subsistem (sektor tradisional) yang jumlahnya jauh lebih besar. Sering kali hubungan antara pelaku sendiri justru cenderung saling mematikan. Format pembangunan kelautan dan perikanan yang selama ini tidak kondusif bagi pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan perlu mengalami perbaikan. Tujuannya agar pembangunan kelautan dan perikanan dapat menjadi tulang punggung (prime mover) pembangunan nasional, dalam rangka mengantarkan bangsa keluar dari krisis ekonomi berkepanjangan. Untuk mengimplementasi gagasan ini, ada enam agenda besar yang menjadi prasyarat keharusan (necessary conditions). Pertama, penegakan hukum dan kedaulatan nyata di laut. Kedua, penerapan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, dalam pengelolaan pembangunan kelautan. Ketiga, penataan ruang dan prioritas pembangunan di wilayah pesisir dan laut. Keempat, perumusan agenda kebijakan pembangunan industri dan jasa kelautan. Kelima, pengembangan sumber daya kelautan nono konvensional. Keenam, pengembangan SDM dan IPTEKS Kelautan.
 Penegakan Hukum Di Laut   

Kegiatan penegakan hukum dan kedaulatan di laut harus mengangkut penegakan hukum yang tegas dan tidak diskriminatif terhadap berbagai pelanggaran yang terjadi, pelaksanaan tata laksana niaga kelautan (code of conduct) yang bertanggung jawab, dan upaya-upaya untuk memperkuat serta mempertegas perlindungan hukum terkait kerusakan lingkungan. Kedaulatan nyata di laut harus diwujudkan dalam keamanan dan kenyamanan di laut. Ini memerlukan penyediaan berbagai armada angkatan laut (TNI-AL) yang kuat.

Pembangunan Berkelanjutan

Penerapan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan perlu menggunakan strategi dan pelaksanaan pembangunan berbasis kelautan yang mencangkup keberlanjutan ekonomi, ekologis, dan sosial. Secara ekonomis, pembangunan kelautan berkelanjutan adalah kemampuan untuk menghasilkan barang dan jasa secara berkesinambungan, memelihara pemerintahan dan hutang luar negeri pada tingkatan yang terkendali, serta menghindarkan ketidakseimbangan yang ekstrem antar sektor yang dapat mengakibatkan kehancuran produksi sektor primer, sekunder, atau tersier. Sedangkan, secara ekologis berarti basis(ketersediaan stok) sumber daya alamnya dapat dipelihara secara stabil, tidak terjadi exploitasi berlebihan terhadap sumber daya yang dapat diperbaharui, tidak terjadi pembuangn limbah melampui kapasitas akumulasi lingkungan yang dapat mengakibatkan kondisi tercemar. Pemanfaatan sumber daya tidak dapat diperbahrui tetapi harus dibarengi dengan upaya pengembangan bahan substitusinya secar memadai. Secara social keberlanjutan bisa disebut apabila kebituhan dasar(pangan, sandang, perumaham, kesehatan, dan pendididkan) seluruh pendududknya terpenuhi. Juga terjadi distribusi pendapatan dan ksempatan berusha secara adil, ada kesetaraan gender, serta terdapt akuntabilitas dan partisipasi politik.
 Penataan Ruang dan Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir dan Lautan 
            Lingkungan laut Indonesia juga diciran oleh keragaman fisik yng besar. Oleh karena itu membangun bidang kelautan Indonesia tidak mungkin dilakukan secara seragam untuk setiap wilayah laut dan pulau. Dengan kata lain, harus ada semacam perwilayahan pembangunan sesuai dengan kondisi fisik alam, potensi pembangunan ( sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan) yang tersedia, dan kondisi sosio cultural masyarakatnya. Selain itu, sehubungan dengan banyaknya sector pembangunan ( seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya, industry engolahan produk perikanan, kehuatanan, pariwisata bahari, pertambangan dan energy, pehubungan, dan industry maritime) yang terdapat diwilayah pesisir dan lautan maka dipelukan priorotas pembanguna banunan secara sinergis sesuai dengan dimensi waktu
Kebijakan dan Pengembangan Program Pembangunan industry dan Jasa Kelautan

Terdapat 8 jenis industry dan jasa kelautan utama yang dapat dikembangkan untuk mendukung mendukung pembangunan ekonomi secara berkelanjutan menuju indonesia yang makmur, mandiri, dan berkeadilan. Kedelapan jenis industry itu meliputi: perikanan, bioteknologi, pariwisata bahari, pertambangan dan energy, transportasi/perhubungan laut, industry maritime dan bangunan kelautan, pulau-pulau kecil, serta benda- benda berharga.

 Pengembangan Sumberdaya Kelautan Nonkonvensional

Dimasa mendatang, pengelolaan sumberdaya elautan harus diarahkan pada pengembangan kemampuan untuk mendyagunakan sumber daya kelautan nonkonvensional yang relevan. Pengelolaan tersebut meliputi pengembangan peraiaran laut dalam dan laut lepas. Kedua peraiaran tersebut perlu dimanfaatkan untuk sumber bahan panga, budidaya laut, bahan-bahan alami, dan penggunaan lain. Disamping itu, perlu juga pengembangan sumberdaya minerl, baik diwilayah pesisir laut nusantara, laut territorial, ZEE, maupun dilaut lepas. Yang tak kalah menariknya adalah pengembangan sumber daya energi yang berasal dari dinamika kelautan. Kita juga perlu mengembangkan sistem informasi kelautan untuk menghasilkan informasi akurat dan terbaru yang dibutuhkan pelaku pembangunan kelautan.
Pengembangan SDM dan IPTEKS Kelautan

Kunci keberhasilan pebangunan di bidang kelautan ke depan tidak terlepas dari faktor kualitas SDM dan kemampuannya dalam menguasai IPTEK. Pengalaman empiris selama ini telah membuktikan, kemajuan, dan kesejahteraan suatu bangsa yang sangat ditentukan oleh penguasaan IPTEK bangsa yang bersangkutan. Eksekutor penentu kesuksesan pembangunan kelautan melalui penguasaan IPTEK bisa diperankan oleh tiga kelompok pelaku birokrasi, pelaku kegiatan ekonomi, dan kelompok peneliti. 

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari tugas makala ekonomi sumberdaya perikanan ini adalah: 

1.    Pembangunan Kelautan dan Perikanan berkelanjutan harus mensyaratkan suatu kebijakan modernisasi lewat program “Revolusi Biru” yang sudah lama dicanangkan oleh pemerintah saat ini maupun usulan alternatif seperti cara berproduksi subsisten, kebijakan swasembada pangan, serta kampanye antiekpor. Selain itu perlu optimalisasi penyesuaian pada ekologi (lokal) serta persyaratan ekonomi dan sosial.  

2.    Keenam agenda besar ini dapat diwujudkan bila terdapat formulasi kebijakan yang bersifat operasional untuk merevitalisasi sektor berbasis SDA, khususnya sumber daya kelautan dan perikanan. Formulasi tersebut dapat dilakukan melalui enam kebijakan secara terpadu. 
SARAN

Pemerintah kini dalam membangun sumberdaya alam Indonesia dan manusianya harus melirik sumberdaya kelautan dan perikanan sebagai sektor yang kini diperioritaskan dalam mensejahterakan masyarakatnya dan kemajuan pembangunan dengan arah keberlanjutan sumberdaya yang lebih baik lagi.


DAFTAR PUSTAKA 

Hadar, IA. 2013.Indonesia, Raksasa Tidur Perikanan. BaKTI News. November-Desember 2013. Makassar.
Dahuri, R. 2013. Masa Depan Indonesia Kelaut Saja, Jika Ingin Berjaya, Masa depan Indonesia Ada Di Laut dan Jika Tak Mengurus dengan Benar masa depan Indonesia Bisa jadi Tenggelem. Jakarta.
 


 

Minggu, 23 Februari 2014

SALAH SATU JENIS IKAN DANAU "IKAN BILIH"



BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Ikan bilih  (Mystacoleucus padangensis Bleeker, 1852) merupakan salah satu jenis ikan endemik (penyebaran terbatas) di perairan Indonesia dimana lokasi ikan ini pada awalnya hanya hidup di  Danau Singkarak dan maninjau, Sumatra Barat serta sungai-sungai kecil disekitarnya yang berhulu ke Danau singkarak. Ikan ini adalah sejenis ikan air tawar yaitu anggota dari suku Cyprinidae. Introduksi ikan bilih ke Danau Toba, Sumatera Utara dilakukan setelah beberapa dari ahli peneliti perikanan mempertimbangkan hasil kajian ikan bilih di habitat aslinya. Ikan ini di ambil dari danau Singkarak dimana atas dasar hasil kajian dari para ahli peneliti perikanan maka dilakukanlah penebaran ikan bilih ke Danau Toba, Sumatra Utara. sebagai kandidat perairan untuk introduksi ikan bilih. Pada tanggal 03 Januari 2003 sebanyak 2.840 ekor ikan bilih dengan ukuran panjang total antara 4,1 -5,7 cm dan berat antara 0,9 – 1,5 gram  ditebarkan ke dalam Danau Toba (Kartamihardja dan Sarnita, 2008). Sekarang populasi ikan bilih sangat berkembang di Perairan Danau Toba yang berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan  para nelayan di sekitar kawasan ekosistem Danau Toba. Prakiraan total hasil tangkapan ikan bilih  pada tahun 2008 adalah 1.755 ton, yaitu hampir tiga kli lipat lebih besar dibandingkan hasil tangkapan pada tahun 2005 yang mencapai 653,6 ton (Kartamihardja dan Sarnita, 2008). Selanjutnya nilai hasil tangkapan pada tahun 2008 diperkirakan mencapai 7,02 milyar rupiah dengan harga rata-rata harga ikan bilih yang dijual ke pedagang pengumpul sebesar 4000 rupiah.

Walaupun  telah dilakukan kajian tentang bioekologi termasuk kesesuaian untuk pemakanan, pemijahan, asuhan dan pembesaran ikan bilih sampai dengan kemungkinan dampaknya terhadap populasi ikan asli dan hasil tangkapan tetapi  umumnya masyarakat mempertanyakan keberadaan dan pertumbuhan ikan bilih yang sangat cepat. Dimana mungkin apakah dapat merusak ekosistem perairan Danau Toba,  mengingat  ikan bilih bukan  species ikan asli  perairan Danau Toba. Pertanyaan tersebut muncul akibat sangat terbatasnya informasi bioekologi ikan yang hidup di perairan Danau Toba. Dengan demikian  kajian bioekologi ikan bilih sangat perlu dilakukan agar tercapai pengelolaaannya  yang   berkelanjutan di perairan Danau Toba.

1.2. Tujuan
            Kajian ini bertujuan untuk  memaparkan status  bioekologi ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker, 1852)  mulai dari asal usul ikan dan bagaimana pengelolaannya secara berkelanjutan di sebagian lingkungan perairan dari Danau singkarak introduksi ke Danau Toba, Pulau Sumatera.



BAB II
KAJIAN LITERATURE ILMIAH

2.1. PEMBAHASAN
2.1.1 Identifikasi dan Biologi  Ikan Bilih
Ikan bilih, Mystacoleucus padangensis (Bleeker, 1852), merupakan ikan air tawar  endemik yang awalnya hidup di Danau Singkarak. Jenis ikan ini termasuk ke dalam :

Kelas                      :    Pisces
Sub kelas               :    Teleostei
Ordo                            Ostariophysi
Sub ordo                :    Cyprinoidea
Famili                     :    Cyprinidae.
Sub famili               :    Cyprininae
Genus                    :    Mystacoleucus
Spesies                  :    Mystacoleucus padangensis

Bleeker, 1852

Menurut Azhar (1993) dalam Barus (2011), tanda-tanda Mystacoleucus padangensis antara lain sebagai berikut:

1.    Sirip punggung mempunyai jari-jari keras (berduri) yang rebah ke muka, kadangkadang duri ini tertutup oleh sisik sehingga tidak kelihatan jika tidak diraba. Sirip dubur tidak mempunyai jari-jari keras, hanya terdapat 8-9 jari-jari lemah;

2.    Badan bulat panjang dan pipih, tinggi badan 2-3 cm, panjang badan maksimum 11,6 cm;

3.    Sisiknya kecil-kecil dan tipis, terdapat 37-39 baris antara tengah-tengah dasar sirip punggung dan gurat sisi (lateral line);

4.    Tubuh ditutupi oleh sisik yang berwarna keperak-perakan. Punggung dan ekor bagian sebelah sirip berwarna kehitam-hitaman.



Bentuk badan ikan bilih sangat mirip dengan kerabatnya, ikan genggehek (Jawa Barat) atau wader (Jawa Tengah dan Timur), yaitu Mystacoleucus marginatus yang banyak terdapat di perairan umum Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Ikan ini juga mirip dengan ikan wader cakul (Jawa Tengah dan Timur), beunteur (Jawa Barat) atau pora-pora (Sumatera Utara), yaitu Pontius binotatus. Oleh karena sejak tahun 1990-an, ikan pora-pora di Danau Toba tidak pernah tertangkap lagi, maka masyarakat sekitar Danau tersebut menyebut ikan bilih sebagai ikan pora-pora yang sebenarnya adalah ikan bilih terus melekat dan populer sampai sekarang. (Kartamihardja, E.S dan Sarnita, A.S, 2008). 

Ikan bilih melakukan reproduksi atau pemijahan dengan cara menyongsong aliran air di sungai yang bermuara di danau. Induk jantan dan betina berupaya ke arah sungai dengan kecepatan arus air ke arah sungai berkisar antara 0,3-0,6 m/detik dan dangkal dengan kedalama air antara 10-20 cm. Habitat pemijahan ikan bilih adalah perairan sungai yang jernih dengan suhu air relatif rendah, berkisar antara 24,0-26,0°C, dan dasar sungai yang berbatu kerikil dan atau pasir. Dalam hal ini, faktor lingkungan yang mempengaruhi pemijahan ikan bilih adalah arus air dan substrat dasar. Ikan bilih menuju ke daerah pemijahan menggunakan orientasi visual dan insting. Sesampainya di habitat pemijahan tersebut, ikan bilih betina melepaskan telur dan bersamaan dengan itu juga ikan jantan melepaskan sperma untuk membuahi telur tersebut. Telur ikan bilih yang telah dibuahi berwarna transparan dan tenggelam berada di dasar sungai untuk kemudian hanyut terbawa arus air masuk ke danau. (Kartamihardja, E.S dan Sarnita, A.S, 2008).

2.1.2.  Ekologi Ikan Mystacoleucus padangensis di  Ekosistem Perairan Danau
Ikan Bilis, Bilih, atau bako merupakan ikan bernama latin (Mystacoleucus padangensis) yaitu penghuni danau, namun beruaya (migrasi) ke arah hulu ketika hendak memijah. Makanan utama ikan ini adalah detritus dan zooplankton; akan tetapi bilis juga sering memakan fitoplankton dan bahan nabati lain yang jatuh ke badan air. 

Perairan disebut danau apabila perairan itu dalam dengan tepi yang umumnya curam. Air danau biasanya bersifat jernih dan keberadaan tumbuhan air terbatas hanya pada daerah pinggir saja. Berdasarkan pada proses terjadinya danau dikenal danau tektonik yang terjadi akibat gempa dan danau vulkanik yang terjadi akibat aktivitas gunung berapi (Barus, 2004). 

Dalam Riwayati dan Sinaga (2010), klasifikasi danau menurut geomorfologinya adalah sebagai berikut:

a. Danau Tektonik
Danau yang dibentuk oleh pergerakan kerak bumi. Contohnya Danau Baikal dan Danau Victoria. Umumnya danau-danau ini mempunyai badan air sangat dalam.

b. Danau Vulkanik
Bahan-bahan vulkanik disemburkan ke atas hingga terbentuklah lubang besar atau lubang besar yang terbentuk magma yang dikeluarkan mendingin dan menyusut. Contohnya danau-danau di daerah tropis Asia.

c. Danau Longsoran
Pergerakan sejumlah besar material oleh longsoran ke dalam lembah sungai dapat menyebabkan pembendungan dan terjadilah danau. Contohnya Danau Alpin.

d. Danau Glasial
Terbentuknya karena efek pengikisan dari pergerakan es glasial.

e. Danau Sungai
Terbentuk akibat pengikisan oleh aliran air sungai. Contohnya danaudanau di Washington.

f. Danau Solusi
Terbentuk akibat melarutnya batuan oleh air hujan, misalnya pelarutan kalsium karbonat oleh air yang agak masam. Contohnya Danau Florida.

Selanjutnya, Menurut Odum (1994) dalam Sitorus (2009), ekosistem danau mempunyai tiga zona yaitu:

1. Litoral
Daerah ini merupakan daerah dangkal. Cahaya matahari menembus dengan optimal. Air yang hangat berdekatan dengan tepi. Tumbuhannya merupakan tumbuhan air yang berakar dan daunnya ada yang mencuat ke atas permukaan air. Komunitas organisme sangat beragam termasuk jenis-jenis ganggang yang melekat (khususnya diatom), berbagai siput dan remis, serangga, krustacea, ikan, amfibi, reptilia air dan semi air seperti kura-kura dan ular, itik dan angsa, dan beberapa mamalia yang sering mencari makan di danau.

2. Limnetik
Daerah ini merupakan daerah air bebas yang jauh dari tepi dan masih dapat ditembus sinar matahari. Daerah ini dihuni oleh berbagai fitoplankton, termasuk ganggang dan sianobakteri. Ganggang berfotosintesis dan bereproduksi dengan kecepatan tinggi selama musim panas dan musim semi. Zooplankton yang sebagian besar termasuk Rotifera dan udang-udangan kecil memangsa fitoplankton. Zooplankton dimakan oleh ikan-ikan kecil. Ikan kecil dimangsa oleh ikan yang lebih besar, kemudian ikan besar dimangsa ular, kura-kura, dan burung pemakan ikan.

3. Profundal
Daerah ini merupakan daerah yang dalam, yaitu daerah afotik danau. Mikroba dan organisme lain menggunakan oksigen untuk respirasi seluler setelah mendekomposisi detritus yang jatuh dari daerah limnetik. Daerah ini dihuni oleh cacing dan mikroba. Menurut Soemarwoto,dkk (1990), meskipun di lapisan bawah beberapa danau tidak dapat ditembus oleh cahaya matahari, tetapi masih ada organism anaerobik yang terdapat di dasar danau. Di dasar danau terdapat banyak materi
organik karena semua organisme yang mati dari bagian atas perairan akan tenggelam ke dasar. Materi organik ini digunakan sebagai makanan oleh saprovor.
 

Ikan bilih memijah dengan cara mengikuti aliran air sungai yang bermuara ke danau. Ikan ini adalah spesies yang awalnya ditemukan hanya berada di danau singkarak yaitu salah satu danau yang berada di pulau sumatera dan memiliki sumber air dari sungai-sungai disekitarnya berhulu ke danau singkarak, yang kondisi air yang dulunya sangat baik bagi perkembangan ikan bilih. Namun, sekarang ikan ini telah di introduksi ke danau toba yang juga merupakan salah satu danau yang berada di pulau sumatera. Seperti halnya di Danau Singkarak, di Danau Toba juga terdapat sungai yang rnasuk danau dengan air yang jernih, suhu air yang dingin (25,0 - 27,5 ºC) dan dasar perairan berbatu atau berpasir. Sungai yang masuk danau Toba tercatat sebanyak 152 buah sungai dan 212 anak sungai dimana sebanyak 71 buah sungai selalu berair sepanjang tahun. Sungai yang masuk ke danau tersebut umumnya berair jernih, berbatu dan atau berpasir sehingga sangat sesuai sebagai tempat pernijahan ikan bilih.

Di sekitar Danau Singkarak, sungai-sungai tersebut di antaranya adalah Batang Sumpur, Paninggahan, dan Muaro Pingai. Nampaknya tidak ada musim memijah yang tertentu, karena selalu ada saja induk yang beruaya masuk ke sungai dan bertelur. Faktor lingkungan yang mempengaruhi pemijahan ikan bilih adalah arus air dan substrat dasar sungai. Ikan ini memilih perairan sungai yang jernih dengan suhu air yang relatif rendah, antara 24–26°C, dan dasar sungai yang berbatu kerikil dan atau pasir. Telur-telur dikeluarkan oleh induk-induk ikan di dasar sungai, dibuahi oleh ikan jantan, dan tenggelam ke dasar untuk kemudian hanyut terbawa arus air yang akan masuk ke danau. Kini beberapa habitat ikan ini berkembang dengan baik di perairan danau singkarak dan danau toba, penjelasan pada ke 2 (dua) danau selanjutnya. Antara lain di bawah ini:

a. Danau Singkarak
 Danau Singkarak merupakan salah satu danau vulkanis yaitu danau yang terbentuk dari bekas letusan gunung berapi yang terjadi pada masa kwarter, berupa jenis–jenis berbatuan beku vulkanis dan instrusi hampir seluruh daerah di sekitar danau tersebut (Wikipedia, 2012). Danau Singkarak adalah sebuah danau yang membentang di dua kabupaten di provinsi Sumatera Barat, Indonesia, yaitu kabupaten Solok dan kabupaten Tanah Datar. Danau Singkarak merupakan Danau terluas ke dua di Sumatera setelah Danau Toba. Danau ini terletak pada ketinggian 369 m dpl. Danau ini memiliki daerah aliran air sepanjang 1.076 km dengan curah hujan 82 - 252 mm/bln. Letak geografis Danau Singkarak pada koordinat 100º28’28”BT sampai 100º36’08”BT dan 0º32’01”LS sampai 0º42’03”LS. Luas permukaan danau Singkarak mencapai 10.908,2 ha dengan panjang maksimum 20,808 km dan lebar maksimum 7,175 km dengan ke dalaman 271,5 m (Syandri, 2008). Selanjutnya Wikipedia (2013) menjelaskan bawha danau ini memiliki daerah aliran air sepanjang 1.076 kilometer dengan curah hujan 82 hingga 252 melimeter per bulan, Ikan bilih (Mystacoleucus padangensis) merupakan spesies ikan yang diperkirakan hanya hidup di danau ini, dan menjadi salah satu makanan khas. Penelitian para ahli mengungkapkan 19 spesies ikan perairan air tawar hidup di habitat Danau Singkarak, Kabupaten Solok dan Tanah Datar, Sumatera Barat (Sumbar), dengan ketersediaan bahan makanannya yang terbatas. Dari 19 spesies itu, tiga spesies di antaranya memiliki populasi kepadatan tinggi, yakni ikan Bilih/Biko (Mystacoleusus padangensis Blkr), Asang/Nilem (Osteochilus brachmoides) dan Rinuak. Spesies ikan lainnya yang hidup di Danau Singkarak adalah, Turiak/turiq (Cyclocheilichthys de Zwani), Lelan/Nillem (Osteochilis vittatus), Sasau/Barau (Hampala mocrolepidota) dan Gariang/Tor (Tor tambroides). Kemudian, spesies ikan Kapiek (Puntius shwanefeldi) dan Balinka/Belingkah (Puntius Belinka), Baung (Macrones planiceps), Kalang (Clarias batrachus), Jabuih/Buntal (Tetradon mappa), Kalai/Gurami (Osphronemus gurami lac) dan Puyu/Betok (Anabas  testudeneus). Selanjutnya, spesies ikan Sapek/Sepat  (Trichogaster trichopterus), Tilan (Mastacembelus unicolor), Jumpo/Gabus (Chana striatus), Kiuang/Gabus (Chana pleurothalmus) dan Mujaie/Mujair (Tilapia pleurothalmus).  Dengan hanya ada 19 spesies ikan yang hidup di Danau Singkarak menunjukkan keanekaragaman ikan di tempat itu tidak telalu tinggi. Kondisi mesogotrofik Danau Singkarak yang menyebabkan daya dukung habitat ini untuk perkembangan dan pertumbuhan organisme air seperti plankton dan betos, sangat terbatas.Dari beberapa kali penelitian menunjukan populasi plankton dan betos di Danau Singkarak sangat rendah.Padahal komunitas plankton (fitoplankton dan zooplankton) merupakan basis dari terbentuknya suatu mata rantai makanan dan memegang peranan sangat penting dalam suatu ekosistem danau. Kondisi tersebut, menyebabkan sumber nutrisi utama ikan secara alamiah umumnya adalah berbagai jenis plankton dan bentos. Letak geografis Danau Singkarak berada pada koordinat. Topografi daerah ini merupakan dataran yang terdiri dari perairan dan daratan, daerah daratan dimanfaatkan sebagai perumahan, perkebunan, perairan danau dan perairan sungai. Berdasarkan (Kantor Wali Nagari Muaro Pingai dalam Sartika, 2013) Luas lahan pertanian di sekitar Danau Singkarak 853 ha, 1017 ha perkebunan, dan 262 ha pemukiman.



Danau Singkarak merupakan salah satu danau yang dijumpai di Sumatera Barat yang memiliki beberapa fungsi yaitu daerah tujuan wisata, perikanan, pembangkit tenaga listrik serta irigasi. Di danau ini hidup salah satu spesies ikan yang khas yaitu ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis Blkr) yang sifatnya endemik dan berstatus langka. Seperti diketahui, Kartamihardja dan Sarnita (2008) menyatakan bahwa  makanan utama ikan bilih di habitat aslinya pada Danau Singkarak adalah detritus dan zooplankton. 

Selanjutnya Siagian (2009) menyatakan dominan tidaknya suatu jenis dalam ekosistem dapat dilihat dengan berbagai cara yaitu dengan menentukan banyaknya individu dari jenis dalam satuan luas, melihat luas area yang ditempati oleh masing-masing jenis serta sering tidaknya suatu jenis dijumpai pada setiap tempat. Dalam hal ini ikan Bilih memiliki jumlah dan kelimpahan terbesar, kemudian juga dapat ditemukan pada hampir setiap tempat/lokasi perairan danau. Dominannya ikan bilih yang ada di perairan Danau Singkarak ini juga disebabkan kondisi perairannya yang memiliki tingkat kesuburan fosfat yang bersifat eutrofikasi, dimana kandungan fosfat yang tinggi juga akan mempengaruhi kelimpahan fitoplankton di dalam perairan. Berdasarkan Sartika (2013), secara keseluruhan konsentrasi fosfat di danau tersebut digolongkan perairan yang yang tinggi nutrien (Eutrofik).

Dimana, Fungsi ikan Bilih ini cukup besar bagi sosial-ekonomi masyarakat di sekitar danau, karena memiliki nilai ekonomis tinggi dan nilai kesejahteraan serta gizi masyarakat yang berada di pedesaan (Junaidi, dkk. 2009). Perlunya pengetahuan indeks gonad somatik (IGS) merupakan salah satu aspek yang memiliki peran penting dalam biologi perikanan, dimana nilai IGS digunakan untuk memprediksi kapan ikan tersebut akan siap dilakukannya pemijahan, penelitian tentang IGS ikan bilih di danau singkarak dilakukan oleh seorang peneliti Junaidi, dkk (2009). Dimana Nilai IGS tersebut nantinya akan mencapai batas kisaran maksimum pada saat akan terjadinya pemijahan, sehingga dapat dikatakan bahwa pemijahan adalah sebagai salah satu bagian dari reproduksi yang merupakan mata rantai daur hidup yang menentukan kelangsungan hidup spesies nantinya. Pada penelitian Enggar dkk (2001)  diperoleh panjang total ikan Bilih yang sudah matang gonad berkisar atara 75 - 105 mm dengan kisaran berat tubuh atara 3,5 - 9,4 gram serta berat gonad 0,22 - 1,09 gram. Ukuran ikan pada saat pertama kali matang gonad tidak selalu sama dimana tergantung pada keadaan ekologis perairan danau singkarak ini. 

Berbagai macam aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar danau tentu saja akan mempengaruhi kehidupan organisme di dalamnya, khususnya organisme akuatik. Pemukiman penduduk yang semakin bertambah mengakibatkan jumlah limbah domestik ke perairan setiap harinya juga bertambah. Di sekitar danau juga dipenuhi oleh kegiatan pertanian milik masyarakat setempat yaitu berupa sawah-sawah dengan ukuran yang luas dimana aliran dari pengairan persawahan tersebut dialirkan ke sungai-sungai dan akhirnya bermuara ke Danau Singkarak. Berdasarkan Pemerintah Kabupaten Solok (2012), potensi hasil pertanian setiap tahunnya meningkat, pada tahun 2011 hasil panen tanaman padi mencapai 337.643 Ton. Aktivitas masyarakat lainnya di perairan danau adalah adanya budidaya ikan keramba dan perikanan tangkap. Jumlah produksi budidaya ikan keramba di Danau Singkarak pada Tahun 2011 sebesar 97,08 Ton, sedangkan untuk perikanan tangkap sebesar 82,52 Ton (Pemerintah Kabupaten Solok, 2012). Dengan adanya berbagai macam aktivitas tentu saja akan memberikan dampak positif dan negatif bagi perairan danau. Tanpa adanya upaya pengelolaan terhadap sumber air yang memasuki perairan danau maka tidak dapat dihindari kualitas perairan di danau ini bisa saja akan mengalami penurunan. Penurunan kualitas perairan yang terjadi dapat mempengaruhi kehidupan organisme akuatik yang hidup di danau tersebut sehingga kemungkinan adanya pengaruh terhadap komunitas ikan akan terjadi.

Berbagai aktivitas yang dilakukan masyarakat di perairan dan di sekitar perairan Danau Singkarak akan memberikan dampak terhadap kualitas perairan di danau tersebut. Kegiatan seperti MCK, pertanian, pariwisata dan kegiatan perikanan lainnya dapat mempengaruhi ekosistem serta organisme yang hidup di dalamnya. Sampah yang dihasilkan dari limbah rumah tangga masyarakat dan dari kegiatan pariwisata juga menjadi permasalahan yang cukup serius saat ini berupa limbah cair dan padat. Masyarakat sepertinya masih kurang menyadari akan pentingnya menjaga kebersihan dan keindahan ekosistem danau. Septiano (2006) berdasarkan penelitiannya, dapat menjelaskan bahwa tingkat kestabilan atau tinggi rendahnya tingkat keanekaragaman dapat juga dipengaruhi oleh tingkat tekanan ekologi yang diterima oleh perairan tersebut, sebagai contoh padatnya pemukiman dan aktivitas penduduk disekitar lokasi penelitian sehingga menurunkan kualitas keanekaragaman sumberdaya hayati ikan yang ada. 

Kondisi perairan danau singkarak  memiliki substrat yang terdiri dari batuan dan kerikil, serta sedikit berlumpur membuat lokasi ini dijadikan sebagai tempat penangkapan ikan dengan sistem alahan dan jala.


b. Danau Toba
Danau Toba selain dimanfaatkan sebagai daerah wisata karena keindahannya yang mempesona juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai tempat pencarian ikan, seperti ikan mujahir, ikan mas (Cyprinus carpio) dan juga ikan pora pora (Mystacoleucus padangensis). Awalnya, Ikan bilih dianggap hanya bisa hidup di Danau Singkarak, namun sejak tahun 2003, ikan bilih mulai dicoba untuk diperkenalkan untuk dibudidayakan di luar danau tersebut. Melalui penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) dihasilkan bahwa ikan bilih dengan penanganan tertentu dapat diperkenalkan ke habitat danau lain. Hingga saat ini danau lain sebagai tempat budidaya baru ikan bilih adalah Danau Toba di Sumatera Utara. Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik dengan ukuran panjang 100 kilometer dan lebar 30 kilometer yang terletak di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Danau ini merupakan danau terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara. Di tengah danau ini terdapat sebuah pulau vulkanik bernama Pulau Samosir

Menurut Kartamihardja, E.S. (2009), ada beberapa alasan mengapa ikan bilih hidup, tumbuh dan berkembang pesat di Danau Toba, yaitu karena:

1.   Di danau toba tersedia makanan ikan bilih yang berupa pankton, detritus dan sisa pakan dari budidaya Keramba Jaring Apung (KJA) yang cukup melimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal oleh ikan lain, 
2.     Ikan bilih termasuk ikan benthopelogis, yaitu jenis ikan yang dapat memanfaatkan jenis makanan yang berada di dasar perairan (benthic) maupun di lapisan tengah dan permukaan air (pelagic).
3.   Ikan bilih tidak berkompetisi makanan dan ruang dengan ikan lain di danau Toba seperti ikan mujair, mas, nila dan lainnya.


Danau Toba sejak lama menjadi daerah tujuan wisata penting di Sumatera Utara selain Bukit Lawang, Berastagi dan Nias, menarik wisatawan domestik maupun mancanegara. Diperkirakan Danau Toba terjadi saat ledakan sekitar 73.000-75.000 tahun yang lalu dan merupakan letusan supervolcano (gunung berapi super) yang paling baru. Bill Rose dan Craig Chesner dari Michigan Technological University memperkirakan bahwa bahan-bahan vulkanik yang dimuntahkan gunung itu sebanyak 2.800 km³, dengan 800 km³ batuan ignimbrit dan 2.000 km³ abu vulkanik yang diperkirakan tertiup angin ke barat selama 2 minggu. Debu vulkanik yang ditiup angin telah menyebar ke separuh bumi, dari Cina sampai ke Afrika Selatan. Letusannya terjadi selama 1 minggu dan lontaran debunya mencapai 10 km di atas permukaan laut. Kejadian ini menyebabkan kematian massal dan pada beberapa spesies juga diikuti kepunahan. Menurut beberapa bukti DNA, letusan ini juga menyusutkan jumlah manusia sampai sekitar 60% dari jumlah populasi manusia bumi saat itu, yaitu sekitar 60 juta manusia. Letusan itu juga ikut menyebabkan terjadinya zaman es, walaupun para ahli masih memperdebatkannya. Setelah letusan tersebut, terbentuk kaldera yang kemudian terisi oleh air dan menjadi yang sekarang dikenal sebagai Danau Toba. Tekanan ke atas oleh magma yang belum keluar menyebabkan munculnya Pulau Samosir. Tim peneliti multidisiplin internasional, yang dipimpin oleh Dr. Michael Petraglia, mengungkapkan dalam suatu konferensi pers di Oxford, Amerika Serikat bahwa telah ditemukan situs arkeologi baru yang cukup spektakuler oleh para ahli geologi di selatan dan utara India. Di situs itu terungkap bagaimana orang bertahan hidup, sebelum dan sesudah letusan gunung berapi (supervolcano) Toba pada 74.000 tahun yang lalu, dan bukti tentang adanya kehidupan di bawah timbunan abu Gunung Toba. Padahal sumber letusan berjarak 3.000 mil, dari sebaran abunya. Selama tujuh tahun, para ahli dari oxford University tersebut meneliti projek ekosistem di India, untuk mencari bukti adanya kehidupan dan peralatan hidup yang mereka tinggalkan di padang yang gundul. Daerah dengan luas ribuan hektare ini ternyata hanya sabana (padang rumput). Sementara tulang belulang hewan berserakan. Tim menyimpulkan, daerah yang cukup luas ini ternyata ditutupi debu dari letusan gunung berapi purba.

Berdasarkan seminar Hidayati (2010) menyatakan bahwa danau toba merupakan danau kaldera (bekas letusan gunung berapi) terluas didunia, yang berusia sekitar 75.000 tahun. Terbentuk karena letusan Gunung Toba Purba yang diperkirakan sebagai letusan terdahsyat selama kurun dua juta tahun. Letusan itu membuat Amerika Utara mengalami satu tahun tanpa musim panas karena matahari tertutup debunya. Suplai air diisi oleh sekitar 100 anak sungai dan puluhan air terjun. Selain itu danau ini dikelilingi hutan tropis, hutan produksi, dan lahan pertanian. Dapat dipastikan kekayaan flora dan faunanya jauh lebih besar karena terhubung dengan Bukit Barisan, salah satu hutan paru-paru dunia.

Penyebaran debu gunung berapi itu sangat luas, ditemukan hampir di seluruh dunia. Berasal dari sebuah erupsi supervolcano purba, yaitu Gunung Toba. Dugaan mengarah ke Gunung Toba, karena ditemukan bukti bentuk molekul debu vulkanik yang sama di 2100 titik. Sejak kaldera kawah yang kini jadi danau Toba di Indonesia, hingga 3000 mil, dari sumber letusan. Bahkan yang cukup mengejutkan, ternyata penyebaran debu itu sampai terekam hingga Kutub Utara. Hal ini mengingatkan para ahli, betapa dahsyatnya letusan super gunung berapi Toba kala itu. Sekarang danau toba kini memiliki keanekaragaman dan unsure hara yang melimpah dimana perairannya yang eksotis dan jernih. Sehingga daerah ini sangat baik bagi kehidupan ikan bilih dimana menyukai perairan jernih, suhu perairan rendah (26,0 – 28,0 oC) dan perairannya berbatu kerikil dan atau pasir.  Berdasarkan sifat dan kebiasaan makannya, ikan bilih termasuk ikan benthopelagis, yaitu jenis ikan yang dapat memanfaatkan jenis makanan yang berada di dasar perairan mupun di lapisan tengah dan permukaaan air. Kartamihardja dan Sarnita (2008) menyatakan bahwa  makanan utama ikan bilih di habitat aslinya Danau Singkarak adalah detritus dan zooplankton sedangkan di perairan Danau Toba makanan utama ikan bilih adalah detritus dan fitoplankton serta makanan tambahannya adalah zooplankton dan seresah. Selanjutnya mereka menyatakan  bahwa makanan utama ikan bilih di kedua perairan tersebut hampir sama hanya sedikit berbeda dalam prosentase komposisinya.

Menurut Kartamihardja dan Sarnita (2008) bahwa keberadaan ikan bilih di perairan Danau Toba tidak menunjukan kompetisi makanan yang dilihat  berdasarkan indeks kesamaan jenis. Dengan demikian ikan bilih di perairan Danau Toba dapat memanfaatkan jenis makanan alami yang tersedia serta mengisi relung (niche) makanan yang masih kosong. Hasil monitoring perkembangan ikan bilih di danau Toba menunjukkan bahwa setelah 2 tahun penebaran, ikan bilih dapat tumbuh dan berkembang biak dengan baik. lkan bilin di danau Toba tumbuh dengan kisaran panjang total antara 4,O-15,8 crn dan kisaran berat antara 0,5-30,O gram, sedangkan di danau Singkarak mempunyai panjang total antara 4'0-8,5 cm dan kisaran berat antara 0,5-5,1 gram (Kartamihardja dan Purnomo, 2006).  


Kini sebagian penduduk di sekitar danau ini bekerja mencari ikan di daerah Danau Toba banyak yang membuka usaha keramba jaring apung. Namun, hal tersebut sering kali dianggap sebagai masalah baru karena pertumbuhan keramba-keramba tersebut dinilai dapat mengurangi keindahan panorama alam danau Toba serta dapat mencemari perairan danau. Keramba Jaring Apung (KJA) merupakan salah satu wadah budidaya ikan yang cukup ideal yang dewasa ini cukup popular karena dapat meningkatkan produksi ikan. Kegiatan budidaya ikan dalam jaring apung pada suatu perairan air tawar seperti Danau Toba dapat memberikan dampak yang besar terhadap lingkungan perairan, baik berupa dampak positif maupun dampak negatif. Pengembangan usaha budidaya ikan dengan sistem KJA tersebut akan memberikan dampak positif berupa penciptaan lapangan kerja yang baru dan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat setempat. Tetapi dilain sisi, KJA dapat membawa dampak negatif bagi lingkungan perairan yaitu menurunnya kualitas perairan di Danau Toba.

2.1.3. Habitat Reproduksi dan Sifat Pemijahan Ikan Bilih

Ikan bilih melakukan pemijahan pada kondisi perairan mempunyai arus jernih, dangkal. Substrat dasar terdiri atas kerikil dan karakal. Suhu perairan berkisar antara 24°C sampai dengan 26°C. Berdasarkan kriteria kondisi perairan tempat ikan bilih memijah, maka dapat dinyatakan faktor lingkungan yang mempengaruhi pemijahan ikan bilih adalah arus dan substrat dasar. 

Populasi ikan bilih memijah setiap hari sepanjang tahun dimulai sore hingga malam harinya sekitar pukul 03.00 WIB. Puncak pemijahan ikan bilih terjadi pada pagi hari mulai dari jam 05.00 sampai dengan jam 09.00, yaitu digambarkan dengan banyaknya telur yang dilepaskan (Kartamihardja dan Sarnita,2008).  Telur hasil pemijahan dihanyutkan oleh arus sungai ke danau dan menetas sekitar 19 jam pada suhu 27°C sampai dengan 28°C. Ikan bilih menuju kedaerah pemijahan menggunakan orientasi visual dan insting dengan sifat pemijahan "parsial" yaitu tidak mengeluarkan telur matang sekaligus dalam satu kali periode pemijahan. Selanjutnya pemijahan ikan yang bersifat parsial merupakan adaptasi ikan terhadap lingkungan perairan sungai yang kondisinya relatif labil. Dengan pemijahan berkali-kali, maka terhindarlah kemungkinan telur terbawa arus sungai. Justru sebaliknya terjadi pada ikan bilih, telur yang dipijahkan dikolom air pada sungai yang berarus hanyut ke perairan danau kemudian menetas dan tumbuh menjadi dewasa.  Faktor lingkungan yang mempengaruhi pemijahan ikan bilih adalah arus air dan substrat dasar sungai. Ikan ini memilih perairan sungai yang jernih dengan suhu air yang relatif rendah, antara 24–26°C, dan dasar sungai yang berbatu kerikil dan atau pasir. Telur-telur dikeluarkan induk-induk ikan di dasar sungai, dibuahi oleh ikan jantan, dan tenggelam ke dasar untuk kemudian hanyut terbawa arus air masuk ke danau (www.wikipedia.com).

Kedalaman air sangat sesuai dengan habitat ikan bilah di pelagik danau  yang memiliki 20 sampai 100 cm dengan warna air yang jernih. Sesuai dengan pernyataan (Panjaitan, 2010) ikan bilih melakukan pemijahan pada kondisi perairan mempunyai arus jernih, dangkal. Substrat dasar terdiri atas kerikil dan karakal. Suhu perairan berkisar antara 24°C sampai dengan 26°C Sesuai dengan kondisi perairan yang cukup baik sehingga ikan-ikan yang tertangkap jumlahnya lebih banyak (Lubis dkk, 2012). Selanjutnya Lubis dkk (2012) dalam penelitiannya mendapatkan hasil penelitian dimana Berdasarkan nilai indeks dominansi yang diperoleh ada satu jenis ikan yang mendominansi di perairan danau ini yaitu jenis ikan Bilih (Mystacoleucus sp) yang merupakan ikan endemik dari Danau Singkarak. Kemudian berdasarkan nilai indeks keseragaman ikan pelagik di perairan Danau Singkarak ini tergolong kepada keadaan yang tidak seimbang dan diduga terjadi persaingan dalam mencari makanan dan habitatnya. Hasil pengukuran parameter fisika dan parameter kimia kualitas air di perairan Danau Singkarak, Lubis dkk (2012) selama penelitian secara umum masih mendukung kehidupan organisme ikan-ikan pelagik yang hidup di perairan danau ini. Berdasarkan PP No.82 Tahun 2001, dapat diketahui bahwa kondisi perairan Danau Singkarak masih berada pada kondisi yang normal sehingga masih mampu untuk mendukung kehidupan organisme (akuatik) di dalamnya, khususnya organisme ikan.

Agar kelestarian populasi ikan Bilih tetap terjamin maka dibutuhkan pengelolaannya. Aspek penting untuk kelestarian populasi ikan Bilih adalah aspek reproduksi yang merupakan aspek dasar biologi ikan. Keberhasilan reproduksi ikan akan menunjukkan kelangsungan populasi ikan tersebut dalam lingkungan ikan.
  
2.1.4. Introduksi Ikan Bilih di Perairan Danau Toba
lntroduksi ikan adalah salah satu teknik pemacuan stok ikan (stock enhancement) yang telah lama dan banyak dilakukan di perairan danau dan waduk untuk rnengisi relung ekologi yang kosong sehingga rnemperbaiki keseirnbangan komposisi jenis dan meningkalkan produksi ikan (Cowx, 1994; Cowx, 1999). Di Indonesia, introduksi dan penebaran ikan teiah dilakukan sejak dahulu kala, narnun hanya beberapa kasus saja yang berhasil baik (Sarnita, 1986). Kegagalan introduksi ikan umurnnya disebabkan introduksi yang dilakukan kurang didasari dengan inforrnasi ilrniah yang rnemadai.  Penyebab utama dari rendahnya produksi tersebut adalah struktur komunitas ikan yang kurang sesuai dengan potensi surnberdaya yang tersedia. Oleh karena itu, introduksi ikan yang didasari dengan informasi ilmiah rnulai dari pernilihan jenis ikan yang sesuai dengan habitat perairan yang akan dijadikan target sampai kepada penyusunan protokolnya yang rnerupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk rnernecahkan masalah tersebut.


Salah satu upaya peningkatan produktivitas perairan umum misalnya danau adalah kegiatan introduksi ikan, yaitu memindahkan atau menebarkan ikan dari suatu perairan ke perairan yang lain dimana jenis ikan yang ditebarkan pada awalnya tidak terdapat di perairan tersebut. Sangat perlu diinformasikan bahwa ikan bilih bukan native species atau ikan asli Danau Toba walaupun banyak masyarakat setempat yang menyatakan ikan bilih sebagai ikan pora-pora (Puntius binotatus) sejenis ikan yang mirip dengan ikan bilih dan berlimpah  jumlahnya di Danau Toba pada waktu silam dan selanjutnya setelah tahun 1990-an jumlah populasinya sudah  langka.

Ikan Bilih dari Danau Singkarak diintoduksi ke dalam perairan Danau Toba  melalui proses sederetan  penelitian yang cukup lama oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan. Penelitian yang dimaksud antara lain: (1) Penelitian dasar yang mempelajari tingkah laku ikan bilih di habitat aslinya meliputi aspek makanan dan kebiasaan makan, pertumbuhan dan reproduksi serta karakteristik habitat yang diperlukanya untuk pencarian makanan, pemijahan dan pemeliharaan larva (asuhan); (2) Kajian tentang karakteristik habitat, ketersediaan makanan dan struktur populasi ikan serta relung ekologi di  Danau Toba, yang bertujuan untuk membuktikan secara ilmiah bahwa ikan bilih dapat menempati habitat yang sesuai bagi kehidupannya, makanan alaminya tersedia dan dapat mengisi relung ekologis yang kosong sehingga tidak berkompetisi dan merugikan jenis ikan asli yang hidup di perairan Danau Toba; (3) Penelitian dan pengembangan pembenihan ikan bilih yang bertujuan untuk memperoleh benih ikan bilih secara berkelanjutan tanpa bergantung kepada benih alam. Walaupun kegiatan pembenihan telah dilakukan tetapi benih  atau calon induk ikan bilih yang diintroduksi ke perairan Danau Toba bukan berasal dari hasil pembenihan melainkan langsung dari Danau Singkarak. Menurut Karthamihardja dan Purnomo (2006) mengemukakan bahwa monitoring dan evaluasi pertumbuhan, distribusi populasi dan hasil tangkapan ikan bilih dilakukan pada tahun 2005 atau dua tahun pasca penebaran. Sampel ikan bilih diperoleh dari hasil tangkapan nelayan, diukur panjang total dan beratnya, diambil saluran pencernaannya untuk kernudian diberi label dan diawetkan dengan formalin 40%. Makanan dan kebiasaan makan diteliti dengan rnenggunakan metode proponderans (Effendie, 1979).

Distribusi atau penyebaran populasi ikan bilih meliputi seluruh perairan danau Toba bahkan ditemukan pula di daerah pelagis dan limnetik danau yang selama ini sangat sedikit sekali dihuni oleh jenis ikan lain. Pada tahun 2005, potensi produksi ikan danau Toba ditaksir sekitar 2.520-7.310 tonitahun atau antara 23-65 kglhalth. Potensi produksi ikan tersebut menunjukkan peningkatan jika dibandingkan dengan potensi produksi ikan yang ditaksir pada tahun 1986 sekitar 6-24 kglhalth (Kartamihardja, 1987) dan pada tahun 1996 sekitar 5,8-30,9 kglhalth (Tjahjo et all., 1998).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah NO. 82 Tahun 2001 tentang baku mutu kualitas perairan, parameter kualitas air yang diukur masih dapat mendukung kelangsungan organisme perairan dalam hal ini ikan. Selain itu menurut Samuel (dalam Kristina, 2001), kelimpahan ikan dalam suatu perairan dipengaruhi beberapa faktor pembatas antara lain: fekunditas, ruang gerak, kompetisi, penyakit, dan batas waktu bertahan hidup. Kemudian menurut Axelord dan Schulz (1983), pada umumnya kelimpahan jenis suatu ikan juga tergantung pada kelimpahan makanan yang ada disetiap habitat, selain kondisi fisik habitat itu sendiri. Pernyataan Odum (1993), mengemukakan bahwa ada dua hal penting dalam ruang lingkup keanekaragaman, yaitu banyaknya spesies yang ada dalam suatu komunitas dan kelimpahan dari masing-masing spesies tersebut. Semakin kecil jumlah spesies dan variasi jumlah individu tiap spesies, atau ada beberapa individu yang jumlahnya lebih besar atau mendominasi maka otomatis keanekaragaman suatu ekosistem akan mengecil.

Di habitat aslinya, selain upaya penebaran ikan bilih yang dihasilkan dari pembenihan, penyediaan suaka buatan dianggap menjadi altenatif lebih baik untuk menyelamatkan populasinya dari kepunahan. Oleh karena itu, pada tahun 2003 model suaka buatan untuk ikan bilih telah dibangun di Sungai Sumpur, salah satu sungai yang masuk danau (Kartamihardja dan Purnomo, 2006). Suaka tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk memproduksi benih ikan bilih secara alami. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa suaka buatan dapat berfungsi baik. Sehingga suaka sejenis perlu dibangun di beberapa lokasi penangkapan seperti di sungai Paninggahan dan Muara Pingai sebagai sentra penangkapan ikan bilih dengan sistem alahan.

2.5. Pertumbuhan Populasi Ikan Bilih di Danau Toba
            Berdasarkan hasil  menunjukkan bahwa populasi ikan bilih di Danau Toba bertumbuh dengan pesat. Hal ini tergambar pada tahun 2005, hasil tangkapan ikan bilih di beberapa tempat sebesar 653,6 ton atau dari total hasil tangkapan ikan dari Danau Toba. Selanjutnya suatu perkiraaan total hasil tangkapan pada tahun 2008 hampir tiga kali lipat lebih besar dibandingkan pada tahun 2008. Berkembangnya populasi ikan bilih di Danau Toba dapat juga digambarkan oleh ukuran panjang tubuhnya, yaitu pada tahun 2005, modus panjang total ikan bilih yang tertangkap adalah 6,5 dan 12,5 dan pada tahun 2008 modus panjang totalnya adalah 13,5 cm dan 18,5 cm (Kartamihardja dan Sarnita ,2008).  Sedangkan modus panjang total ikan billih di Danau Singkarak pada tahun 2003 adalah 6.5 cm.
Berkembangnya  populasi ikan bilih  di Danau Toba  disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: (1) Karakteristik limnologis Danau Toba yang mirip dengan Danau Singkarak; (2) Habitat pemijahan ikan bilih di Danau Toba tersedia dan lebih luas dari pada Danau Singkarak. Beberapa daerah pemijahan utama ikan bilih di Danau Toba terdapat di Sungai Sipangolu di Bakara,  Sungai Sipiso-piso di Tongging, Sungai  Naborsahan di Ajibata; (3) Makanan alami sebagai makanan utama ikan bilih cukup tersedia dan belum seluruhnya dimanfaatkan oleh jenis ikan yang hidup di Danau Toba; dan (4) Daerah pelagis dan limnetik Danau Toba jauh lebih luas. Meningkatnya kelimpahan fitoplankton di perairan Danau Toba dapat menyebabkan pertumbuhan populasi ikan bilih.  Kelimpahan fitoplankton tersebut disebabkan oleh meningkatnya kesuburan perairan Danau Toba akibat adanya pemasukan unsur hara dari kegiatan budidaya ikan intensif di KJA dan dari limbah domestik, hotel serta limbah pertanian dan peternakan di sekitar kawasan Danau Toba. Kartamihardja dan Sarnita (2008) meyatakan bahwa  sehubungan adanya peningkatan kesuburan perairan akibat meningkatnya unsur hara  kepadatan fitoplankton di Danau Toba sebagai makanan ikan bilih dari sekitar 8000 sel per liter tahun 1996 menjadi 41.000 sel per liter pada tahun 2003. Selanjutnya kelimpahan ferifiton yang meningkat juga dapat mendukung pertumbuhan ikan bilih di perairan Danau Toba (Kartamihardja dan Sarnita,2008).
 
Meningkatnya detritus dan zooplanton juga dapat mendukung pertumbuhan populasi ikan bilih di Danau Toba.  Konsentrasi detritus meningkat di perairan Danau Toba disebabkan oleh  meningkatnya pemakian pakan di kegiatan budidaya ikan  dengan sistem KJA, limbah pertanian, peternakan, domestik dan hotel di kawasan Danau Toba (Panjaitan, 2008). 

Selanjutnya Kartarnihardja dan Purnomo (2006) menjelaskan bahwa Kelirnpahan fitoplankton di danau Toba sebagai makanan ikan bilih mengalami peningkatan dari kisaran 792-7.722 sel/I pada tahun 1996 (Tjahjoet at., 1996) menjadi 18.1 89-40.514 sel/I pada tahun 2003 (Sarnita dan Kartamihardja, 2003). Dimana, peningkatan kesuburan perairan terutama sebagai hasil beban masukan unsur hara dari kegiatan budidaya ikan intensif dalam keramba jaring apung diduga menjadi penyebab meningkatnya kelimpahan fitoplankton. 

Disarnping fitoplankton, terdapat juga perifiton dimana ke dua kelompok organisme ini akan menjadi sumberdaya makanan alami bagi ikan bilih. Ke dua kelornpok sumberdaya pakan ini belum dimanfaatkan secara optimal oleh populasi ikan yang ada karena jenis ikan pemakan plankton yang hidup di zona limnetik danau hampir tidak ada. Sebelum tahun 1985, jenis ikan pemakan plankton yang populasinya masih tinggi adalah ikan pora-pora atau undalap (Puntius binotatus). Namun setelah itu, keberadaan populasi ikan pora-pora tersebut menurun dan sudah jarang tertangkap lagi (Kartamihardja, 1987). 

Di habitat aslinya danau Singkarak, makanan utama ikan bilih adalah detritus dan zooplankton sedangkan di danau Toba makanan utama ikan bilih adalah detritus dan fitoplankton dan makanan tambahannya adalah zooplankton dan serasah.