Selasa, 25 November 2014
Jumat, 30 Mei 2014
PEMBANGUNAN EKONOMI BIRU INDONESIA SEBAGAI NEGARA MARITIM
Oleh: Syainullah Wahana
Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar
Informasi dari Data FAO (2008)
menyebutkan bahwa Indonesia menempati peringkat keempat produsen perikanan
dunia setelah Cina, Peru, dan AS. Sayangnya, nilai ekonomis produksi perikanan
kita hanya menempati peringkat kesepuluh dunia. Kalah dibandingkan Vietnam dan
Thailand. Secara teknis keterbatasan infrastruktur, rendahnya aliran investasi,
kurangnya inovasi teknologi, lemahnya SDM, serta banyaknya pencurian ikan oleh
pihak asing menjadi faktor penghambat penyebabnya. Selain itu, kebijakan
ekonomi mikro yang tidak berpihak, gonjang-ganjing politik, lemahnya penegakan
hukum nasional, serta kelembagaan yang tidak kondusif bagi pembangunan
perikanan juga merupakan hambatan struktural. Selama kedua masalah ini belum
dapat dipecahkan, potensi perikanan yang ibarat “raksasa tidur” itu hanya
menjadi “harta karun” yang dimanfaatkan oleh masyarakat asing saja dan bukan dirasakan
oleh masyarakat Indonesia itu sendiri.
Sejarah kelautan dan perikanan selalu
ditandai oleh kecenderuangan prubahan produksi subsisten untuk keperluan
sendiri yang menjadi produksi untuk pasar. Tidak menutup kemungkinan bahwa
akibat struktur pasar yang timpang dan diskriminatif serta anjloknya harga di
pasar komoditi membuat nelayan berorientasi pasar bisa bernasib lebih buruk
ketimbang misalnya petani subsiten karena lebih bergantung pada kondisi alam.
Meski demikian, sebuah strategi pembangunan kelautan dan perikanan
berkelanjutan tidak berarti kembali ke perikanan berorientasi subsisten.
Yang seharusnya dilakukan adalah
memengaruhi proses di mana tiga dimensi masing-masing ketahanan pangan,
pengamanan pendapatan, dan pembangunan berkelanjutan yang dalam penerapannya
seringkali mempunyai tujuan yang saling bertentangan (zeil konflikte) agar bersinergi
satu dengan lainnya. Bagi sektor perikanan secara bertahap harus diadakan
optimalisasi penangkapan ikan sambil menjaga kelestarian laut. Artinya, selain
adanya peningkatan fishing effort (upaya penangkapan) dan intensitas
penangkapan (jumlah nelayan dan jumlah kapal ikan, termasuk pembangunan
galangan kapal ikan), harus pula dilakukan semacam pemetaan daerah mana saja
yang telah overfishing dan mana saja yang belum. Secara umum, yang menghadapi
kesulitan dalam pengamanan pangan adalah para nelayan. Ini juga disebabkan oleh
urban bias dalam kebijakan pemerintah yang lebih menguntungkan atau mengacu
pada kepentingan orang kota. Salah satu faktor penting dalam pembangunan
kelautan dan perikanan berkelanjutan berkaitan dengan terumbu karang dan
mangrove. Dimana, terumbu karang Indonesia yang luasnya 60.000 – 86.000
kilometer persegi adalah sama dengan luas seperdelapan luas terumbu karang
dunia. Bukti hasil penelitian 2001 oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan
mencatat setidaknya 70 persen terumbu karang di Indonesia dalam keadaan rusak
parah. Akibatnya, Indonesia menderita kerugian sekitar dua juta ton ikan per
tahun. Kerugian juga dirasakan oleh nelayan tradisional yang umumnya tidak
melaut melebihi 12 mil dari tepi pantai.
Suatu masalah yang miris juga terjadi
di kawasan pagar nusantara kita yaitu dimana, Indonesia memiliki Hutan Mangrove
yang sangat luas dan kini mungkin telah banyak ekosistemnya terdegradasi akibat
penebangan dan konversi lahan mangrove menjadi tambak-tambak intensif dimana dalam
waktu yang lama dipertanyakan produktifitas tambaknya. Bahkan hutan Mangrove di
anggap sarang nyamuk dan hanya berguna sebagai kayu bakar. Padahal, akar-akar
napas mangrove dapat menstabilkan pantai dengan menangkap berbagai bahan baik
dari darat maupun dari laut. Sehingga menjadi ekosistem yang sangat subur.
Pembangunan perikanan berkelanjutan
mensyaratkan pembalikan resep-resep standar selama ini, baik itu berupa
kebijakan modernisasi lewat program “Revolusi Biru” yang dicanangkan pemerintah
saat ini maupun usulan alternatif seperti cara berproduksi subsisten, kebijakan
swasembada pangan, serta kampanye antiekspor. Selain itu juga perlu
optimalisasi penyesuaian pada ekologi (lokal) serta persyaratan ekonomi dan
sosial. Dalam kaitannya dengan pengentasan kemiskinan di daerah pedesaan, yang
lebih penting adalah penghasilan yang diperoleh nelayan serta kestabilan dan distribusi
produknya dibandingkan apa jenis produk yang dihasilkan. Dikaitkan dengan
lemahnya ekonomi dan kehidupan rumah tangga nelayan, persiapan ke depan harus
mencakup upaya memberdayakan nelayan. Ada paradigma yang sengaja dibangun pada
masa lalu yang mengatakan, amat sulit bahkan tidak mungkin nelayan bebas
kemiskinan karena kulturnya tidak mendukung. Kenyataan di mancanegara menunjukkan
banyak contoh yang merupakan pembalikan paradigma tersebut. Tentu saja, dalam
kondisi saat ini dibutuhkan program pemihakan sehingga gap antara nelayan kecil
dan para bandar ikan serta pengusaha bisa diperkecil. Perikanan berkelanjutan
sangat bergantung pada pembangunan struktur perdesaan, terutama desa pesisir,
yang terintegrasi secara regional dan nasional. Dalam kaitan ini beberapa
bidang berikut berperan menentukan. Ada beberapa hal yang menentukan
keberhasilan pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Pertama, struktur
pemilikan dan penghasilan yang berperan dalam distribusian pendapatan. Kedua,
struktur kelembagaan yang mengemankan dan boleh pemerataan yang menguntungkan
nelayan tradisional bermodal kecil seperti pemasaran dan akses kredit,
konseling perikanan, dan peningkatan posisi tawar secara politis. Ketiga,
infrastruktur material dan sosial seperti pendidikan, kesehatan transportasi
dan komunikasi. Terakhir, perbaikan struktur ekonomi terutama dengan bidang
perikanan serta ketersediaan lapangan kerja di luar sektor perikanan. Sektor
kelautan tidak boleh hanya dipandang dari sudut hubungan antara nelayan dan laut,
tetapi dalam keterkaitan struktural pembangunan pedesaan yang tentu saja juga
tergantung pada perkembangan nasional maupun global (Hadar, 2013). Untuk itu, penghasilan nelayan harus
menjadi ukuran situasi ekonomi penduduk perdesaan. Selain itu, pemberlakuan
kebijakan perikanan berkelanjutan mensyaratkan transformasi sosio-kultural
berupa pengembangan kearifan lokal atau tradisional, pembaruan pemahaman
tentang pembangunan, serta penilaian baru tentang kondisi dan persyaratan
katahanan alam.
KONSEP EKONOMI BIRU UNTUK BANGSA INDONESIA
OLEH: SYAINULLAH WAHANA (P3300213416)
Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin MakassarPENDAHULUAN
Latar Belakang
Informasi dari Data FAO (2008)
menyebutkan bahwa Indonesia menempati peringkat keempat produsen perikanan
dunia setelah Cina, Peru, dan AS. Sayangnya, nilai ekonomis produksi perikanan
kita hanya menempati peringkat kesepuluh dunia. Kalah dibandingkan Vietnam dan
Thailand. Secara teknis keterbatasan infrastruktur, rendahnya aliran investasi,
kurangnya inovasi teknologi, lemahnya SDM, serta banyaknya pencurian ikan oleh
pihak asing menjadi faktor penghambat penyebabnya. Selain itu, kebijakan
ekonomi mikro yang tidak berpihak, gonjang-ganjing politik, lemahnya penegakan
hukum nasional, serta kelembagaan yang tidak kondusif bagi pembangunan
perikanan juga merupakan hambatan struktural. Selama kedua masalah ini belum
dapat dipecahkan, potensi perikanan yang ibarat “raksasa tidur” itu hanya
menjadi “harta karun” yang dimanfaatkan oleh masyarakat asing saja dan bukan dirasakan
oleh masyarakat Indonesia itu sendiri.
Sejarah kelautan dan perikanan selalu
ditandai oleh kecenderuangan prubahan produksi subsisten untuk keperluan
sendiri yang menjadi produksi untuk pasar. Tidak menutup kemungkinan bahwa
akibat struktur pasar yang timpang dan diskriminatif serta anjloknya harga di
pasar komoditi membuat nelayan berorientasi pasar bisa bernasib lebih buruk
ketimbang misalnya petani subsiten karena lebih bergantung pada kondisi alam.
Meski demikian, sebuah strategi pembangunan kelautan dan perikanan
berkelanjutan tidak berarti kembali ke perikanan berorientasi subsisten.
Yang seharusnya dilakukan adalah
memengaruhi proses di mana tiga dimensi masing-masing ketahanan pangan,
pengamanan pendapatan, dan pembangunan berkelanjutan yang dalam penerapannya
seringkali mempunyai tujuan yang saling bertentangan (zeil konflikte) agar bersinergi
satu dengan lainnya. Bagi sektor perikanan secara bertahap harus diadakan
optimalisasi penangkapan ikan sambil menjaga kelestarian laut. Artinya, selain
adanya peningkatan fishing effort (upaya penangkapan) dan intensitas
penangkapan (jumlah nelayan dan jumlah kapal ikan, termasuk pembangunan
galangan kapal ikan), harus pula dilakukan semacam pemetaan daerah mana saja
yang telah overfishing dan mana saja yang belum. Secara umum, yang menghadapi
kesulitan dalam pengamanan pangan adalah para nelayan. Ini juga disebabkan oleh
urban bias dalam kebijakan pemerintah yang lebih menguntungkan atau mengacu
pada kepentingan orang kota. Salah satu faktor penting dalam pembangunan
kelautan dan perikanan berkelanjutan berkaitan dengan terumbu karang dan
mangrove. Dimana, terumbu karang Indonesia yang luasnya 60.000 – 86.000
kilometer persegi adalah sama dengan luas seperdelapan luas terumbu karang
dunia. Bukti hasil penelitian 2001 oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan
mencatat setidaknya 70 persen terumbu karang di Indonesia dalam keadaan rusak
parah. Akibatnya, Indonesia menderita kerugian sekitar dua juta ton ikan per
tahun. Kerugian juga dirasakan oleh nelayan tradisional yang umumnya tidak
melaut melebihi 12 mil dari tepi pantai.
Suatu masalah yang miris juga terjadi
di kawasan pagar nusantara kita yaitu dimana, Indonesia memiliki Hutan Mangrove
yang sangat luas dan kini mungkin telah banyak ekosistemnya terdegradasi akibat
penebangan dan konversi lahan mangrove menjadi tambak-tambak intensif dimana dalam
waktu yang lama dipertanyakan produktifitas tambaknya. Bahkan hutan Mangrove di
anggap sarang nyamuk dan hanya berguna sebagai kayu bakar. Padahal, akar-akar
napas mangrove dapat menstabilkan pantai dengan menangkap berbagai bahan baik
dari darat maupun dari laut. Sehingga menjadi ekosistem yang sangat subur.
Melihat Visi Pembangunan Kelautan dan
Perikanan Indonesia
Suatu sistem pembangunan kelautan dan
perikanan yang dapat memanfaatkan sumberdaya ikan beserta ekosistem perairannya
untuk kesejahteraan bangsa, terutama nelayan dan petani ikan secara
berkelanjutan.
INDONESIA MEMILIKI
SUMBERDAYA PERIKANAN YANG MELIMPAH DAN BELUM BANYAK DIKETAHUI OLEH MASYARAKAT
PADA UMUM
Pembangunan perikanan berkelanjutan
mensyaratkan pembalikan resep-resep standar selama ini, baik itu berupa
kebijakan modernisasi lewat program “Revolusi Biru” yang dicanangkan pemerintah
saat ini maupun usulan alternatif seperti cara berproduksi subsisten, kebijakan
swasembada pangan, serta kampanye antiekspor. Selain itu juga perlu
optimalisasi penyesuaian pada ekologi (lokal) serta persyaratan ekonomi dan
sosial. Dalam kaitannya dengan pengentasan kemiskinan di daerah pedesaan, yang
lebih penting adalah penghasilan yang diperoleh nelayan serta kestabilan dan distribusi
produknya dibandingkan apa jenis produk yang dihasilkan. Dikaitkan dengan
lemahnya ekonomi dan kehidupan rumah tangga nelayan, persiapan ke depan harus
mencakup upaya memberdayakan nelayan. Ada paradigma yang sengaja dibangun pada
masa lalu yang mengatakan, amat sulit bahkan tidak mungkin nelayan bebas
kemiskinan karena kulturnya tidak mendukung.
Kenyataan di mancanegara menunjukkan
banyak contoh yang merupakan pembalikan paradigma tersebut. Tentu saja, dalam
kondisi saat ini dibutuhkan program pemihakan sehingga gap antara nelayan kecil
dan para bandar ikan serta pengusaha bisa diperkecil. Perikanan berkelanjutan
sangat bergantung pada pembangunan struktur perdesaan, terutama desa pesisir,
yang terintegrasi secara regional dan nasional. Dalam kaitan ini beberapa
bidang berikut berperan menentukan.
Ada beberapa hal yang menentukan
keberhasilan pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Pertama, struktur
pemilikan dan penghasilan yang berperan dalam distribusian pendapatan. Kedua,
struktur kelembagaan yang mengemankan dan boleh pemerataan yang menguntungkan
nelayan tradisional bermodal kecil seperti pemasaran dan akses kredit,
konseling perikanan, dan peningkatan posisi tawar secara politis. Ketiga,
infrastruktur material dan sosial seperti pendidikan, kesehatan transportasi
dan komunikasi. Terakhir, perbaikan struktur ekonomi terutama dengan bidang
perikanan serta ketersediaan lapangan kerja di luar sektor perikanan. Sektor
kelautan tidak boleh hanya dipandang dari sudut hubungan antara nelayan dan laut,
tetapi dalam keterkaitan struktural pembangunan pedesaan yang tentu saja juga
tergantung pada perkembangan nasional maupun global (Hadar, 2013)
Untuk itu, penghasilan nelayan harus
menjadi ukuran situasi ekonomi penduduk perdesaan. Selain itu, pemberlakuan
kebijakan perikanan berkelanjutan mensyaratkan transformasi sosio-kultural
berupa pengembangan kearifan lokal atau tradisional, pembaruan pemahaman
tentang pembangunan, serta penilaian baru tentang kondisi dan persyaratan
katahanan alam.
ENAM AGENDA BESAR MEMBANGUN KELAUTAN DAN PERIKANAN
(Dahuri, 2013)
Basis Orientasi Pembangunan Kelautan
dan Perikanan
Potret pembangunan kelautan Indonesia
pada masa lalu menunjukkan bahwa kegiatan di sektor kelautan dan perikanan
didominasi oleh kegiatan-kegiatan yang bersifat ekstraktif, seperti penangkapan
ikan, penambangan bahan tambang dan mineral, penebangan dan konversi hutan
mangrove, dan aktivitas kepelabuhanan dan perhubungan laut yang kurang atau
tidak mengindahkan aspek kelestarian lingkungan.
Penjelasan di atas akibat dalam
pengelolaan pembangunan kelautan sangat di warnai oleh rezim yang bersifat (1)
open acces (siapa saja, kapan saja, di mana saja, dan berapa saja boleh
mengeksploitasi sumber daya alam kelautan), (2) sentralistik (top-down), dan
(3) penyeragaman – kurang atau tidak memperhatikan keragamman biofisik alam dan
sosiokultural masyarakat lokal (daerah).
Lebih dari itu, kurangnya kesadaran yang sinergis antara pelaku
pembangunan kelautan besar dan komersial (sector modern) dengan kelompok usaha
kecil dan subsistem (sektor tradisional) yang jumlahnya jauh lebih besar.
Sering kali hubungan antara pelaku sendiri justru cenderung saling mematikan. Format pembangunan kelautan dan
perikanan yang selama ini tidak kondusif bagi pemanfaatan sumber daya kelautan
dan perikanan perlu mengalami perbaikan. Tujuannya agar pembangunan kelautan
dan perikanan dapat menjadi tulang punggung (prime mover) pembangunan nasional,
dalam rangka mengantarkan bangsa keluar dari krisis ekonomi berkepanjangan. Untuk mengimplementasi gagasan ini,
ada enam agenda besar yang menjadi prasyarat keharusan (necessary conditions).
Pertama, penegakan hukum dan kedaulatan nyata di laut. Kedua, penerapan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, dalam pengelolaan pembangunan kelautan.
Ketiga, penataan ruang dan prioritas pembangunan di wilayah pesisir dan laut.
Keempat, perumusan agenda kebijakan pembangunan industri dan jasa kelautan.
Kelima, pengembangan sumber daya kelautan nono konvensional. Keenam,
pengembangan SDM dan IPTEKS Kelautan.
Penegakan
Hukum Di Laut
Kegiatan penegakan hukum dan
kedaulatan di laut harus mengangkut penegakan hukum yang tegas dan tidak
diskriminatif terhadap berbagai pelanggaran yang terjadi, pelaksanaan tata
laksana niaga kelautan (code of conduct) yang bertanggung jawab, dan
upaya-upaya untuk memperkuat serta mempertegas perlindungan hukum terkait
kerusakan lingkungan. Kedaulatan nyata di laut harus diwujudkan dalam keamanan
dan kenyamanan di laut. Ini memerlukan penyediaan berbagai armada angkatan laut
(TNI-AL) yang kuat.
Pembangunan
Berkelanjutan
Penerapan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan perlu menggunakan strategi dan pelaksanaan pembangunan berbasis
kelautan yang mencangkup keberlanjutan ekonomi, ekologis, dan sosial. Secara ekonomis,
pembangunan kelautan berkelanjutan adalah kemampuan untuk menghasilkan barang
dan jasa secara berkesinambungan, memelihara pemerintahan dan hutang luar
negeri pada tingkatan yang terkendali, serta menghindarkan ketidakseimbangan
yang ekstrem antar sektor yang dapat mengakibatkan kehancuran produksi sektor
primer, sekunder, atau tersier. Sedangkan, secara ekologis berarti
basis(ketersediaan stok) sumber daya alamnya dapat dipelihara secara stabil,
tidak terjadi exploitasi berlebihan terhadap sumber daya yang dapat
diperbaharui, tidak terjadi pembuangn limbah melampui kapasitas akumulasi
lingkungan yang dapat mengakibatkan kondisi tercemar. Pemanfaatan sumber daya
tidak dapat diperbahrui tetapi harus dibarengi dengan upaya pengembangan bahan
substitusinya secar memadai. Secara social keberlanjutan bisa
disebut apabila kebituhan dasar(pangan, sandang, perumaham, kesehatan, dan
pendididkan) seluruh pendududknya terpenuhi. Juga terjadi distribusi pendapatan
dan ksempatan berusha secara adil, ada kesetaraan gender, serta terdapt
akuntabilitas dan partisipasi politik.
Penataan
Ruang dan Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir dan Lautan
Lingkungan laut Indonesia juga
diciran oleh keragaman fisik yng besar. Oleh karena itu membangun bidang
kelautan Indonesia tidak mungkin dilakukan secara seragam untuk setiap wilayah
laut dan pulau. Dengan kata lain, harus ada semacam
perwilayahan pembangunan sesuai dengan kondisi fisik alam, potensi pembangunan
( sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan) yang tersedia, dan kondisi sosio
cultural masyarakatnya. Selain itu, sehubungan dengan banyaknya sector
pembangunan ( seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya, industry engolahan
produk perikanan, kehuatanan, pariwisata bahari, pertambangan dan energy,
pehubungan, dan industry maritime) yang terdapat diwilayah pesisir dan lautan
maka dipelukan priorotas pembanguna banunan secara sinergis sesuai dengan
dimensi waktu
Kebijakan
dan Pengembangan Program Pembangunan industry dan Jasa Kelautan
Terdapat 8 jenis industry dan jasa
kelautan utama yang dapat dikembangkan untuk mendukung mendukung pembangunan
ekonomi secara berkelanjutan menuju indonesia yang makmur, mandiri, dan
berkeadilan. Kedelapan jenis industry itu meliputi: perikanan, bioteknologi,
pariwisata bahari, pertambangan dan energy, transportasi/perhubungan laut,
industry maritime dan bangunan kelautan, pulau-pulau kecil, serta benda- benda
berharga.
Pengembangan Sumberdaya
Kelautan Nonkonvensional
Dimasa mendatang, pengelolaan
sumberdaya elautan harus diarahkan pada pengembangan kemampuan untuk
mendyagunakan sumber daya kelautan nonkonvensional yang relevan. Pengelolaan
tersebut meliputi pengembangan peraiaran laut dalam dan laut lepas. Kedua
peraiaran tersebut perlu dimanfaatkan untuk sumber bahan panga, budidaya laut,
bahan-bahan alami, dan penggunaan lain. Disamping itu, perlu juga pengembangan
sumberdaya minerl, baik diwilayah pesisir laut nusantara, laut territorial,
ZEE, maupun dilaut lepas. Yang tak kalah menariknya adalah
pengembangan sumber daya energi yang berasal dari dinamika kelautan. Kita juga
perlu mengembangkan sistem informasi kelautan untuk menghasilkan informasi
akurat dan terbaru yang dibutuhkan pelaku pembangunan kelautan.
Pengembangan
SDM dan IPTEKS Kelautan
Kunci keberhasilan pebangunan di bidang
kelautan ke depan tidak terlepas dari faktor kualitas SDM dan kemampuannya
dalam menguasai IPTEK. Pengalaman empiris selama ini telah membuktikan,
kemajuan, dan kesejahteraan suatu bangsa yang sangat ditentukan oleh penguasaan
IPTEK bangsa yang bersangkutan. Eksekutor penentu kesuksesan pembangunan
kelautan melalui penguasaan IPTEK bisa diperankan oleh tiga kelompok pelaku
birokrasi, pelaku kegiatan ekonomi, dan kelompok peneliti.
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Adapun
kesimpulan dari tugas makala ekonomi sumberdaya perikanan ini adalah:
1.
Pembangunan
Kelautan dan Perikanan berkelanjutan harus mensyaratkan suatu kebijakan
modernisasi lewat program “Revolusi Biru” yang sudah lama dicanangkan oleh
pemerintah saat ini maupun usulan alternatif seperti cara berproduksi
subsisten, kebijakan swasembada pangan, serta kampanye antiekpor. Selain itu
perlu optimalisasi penyesuaian pada ekologi (lokal) serta persyaratan ekonomi
dan sosial.
2.
Keenam
agenda besar ini dapat diwujudkan bila terdapat formulasi kebijakan yang
bersifat operasional untuk merevitalisasi sektor berbasis SDA, khususnya sumber
daya kelautan dan perikanan. Formulasi tersebut dapat dilakukan melalui enam
kebijakan secara terpadu.
SARAN
Pemerintah kini dalam membangun sumberdaya
alam Indonesia dan manusianya harus melirik sumberdaya kelautan dan perikanan
sebagai sektor yang kini diperioritaskan dalam mensejahterakan masyarakatnya dan
kemajuan pembangunan dengan arah keberlanjutan sumberdaya yang lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Hadar, IA. 2013.Indonesia, Raksasa Tidur Perikanan. BaKTI News. November-Desember
2013. Makassar.
Dahuri, R. 2013. Masa Depan Indonesia Kelaut Saja, Jika Ingin Berjaya, Masa depan
Indonesia Ada Di Laut dan Jika Tak Mengurus dengan Benar masa depan Indonesia
Bisa jadi Tenggelem. Jakarta.
Minggu, 23 Februari 2014
SALAH SATU JENIS IKAN DANAU "IKAN BILIH"
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ikan
bilih (Mystacoleucus
padangensis Bleeker, 1852) merupakan salah
satu jenis ikan endemik (penyebaran terbatas) di perairan Indonesia dimana
lokasi ikan ini pada awalnya hanya hidup di Danau Singkarak dan maninjau, Sumatra Barat
serta sungai-sungai kecil disekitarnya yang berhulu ke Danau singkarak. Ikan
ini adalah sejenis ikan air tawar
yaitu anggota dari suku Cyprinidae.
Introduksi ikan bilih ke Danau Toba, Sumatera Utara dilakukan setelah beberapa
dari ahli peneliti perikanan mempertimbangkan hasil kajian ikan bilih di
habitat aslinya. Ikan ini di ambil dari danau Singkarak dimana atas dasar hasil
kajian dari para ahli peneliti perikanan maka dilakukanlah penebaran ikan bilih
ke Danau Toba, Sumatra Utara. sebagai kandidat perairan untuk introduksi ikan
bilih. Pada tanggal 03 Januari 2003 sebanyak 2.840 ekor ikan bilih dengan
ukuran panjang total antara 4,1 -5,7 cm dan berat antara 0,9 – 1,5 gram ditebarkan ke dalam Danau Toba (Kartamihardja
dan Sarnita, 2008). Sekarang populasi ikan
bilih sangat berkembang di Perairan Danau Toba yang berdampak positif terhadap
peningkatan pendapatan para nelayan di
sekitar kawasan ekosistem Danau Toba. Prakiraan total hasil tangkapan ikan
bilih pada tahun 2008 adalah 1.755 ton,
yaitu hampir tiga kli lipat lebih
besar dibandingkan hasil tangkapan pada tahun 2005 yang mencapai 653,6 ton
(Kartamihardja dan Sarnita, 2008). Selanjutnya nilai hasil tangkapan pada tahun
2008 diperkirakan mencapai 7,02 milyar rupiah dengan harga rata-rata harga ikan
bilih yang dijual ke pedagang pengumpul sebesar 4000 rupiah.
Walaupun telah
dilakukan kajian tentang bioekologi termasuk kesesuaian untuk pemakanan,
pemijahan, asuhan dan pembesaran ikan bilih sampai dengan kemungkinan dampaknya
terhadap populasi ikan asli dan hasil tangkapan tetapi umumnya masyarakat mempertanyakan keberadaan
dan pertumbuhan ikan bilih yang sangat cepat. Dimana mungkin apakah dapat
merusak ekosistem perairan Danau Toba,
mengingat ikan bilih bukan species ikan asli perairan Danau Toba. Pertanyaan tersebut
muncul akibat sangat terbatasnya informasi bioekologi ikan yang hidup di
perairan Danau Toba. Dengan demikian
kajian bioekologi ikan bilih sangat perlu dilakukan agar tercapai pengelolaaannya yang berkelanjutan di perairan Danau Toba.
1.2. Tujuan
Kajian ini bertujuan untuk memaparkan status bioekologi ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker, 1852) mulai dari asal usul ikan dan bagaimana pengelolaannya
secara berkelanjutan di sebagian lingkungan perairan dari Danau singkarak introduksi
ke Danau Toba, Pulau Sumatera.
BAB II
KAJIAN
LITERATURE ILMIAH
2.1. PEMBAHASAN
2.1.1 Identifikasi
dan Biologi Ikan Bilih
Ikan bilih, Mystacoleucus padangensis (Bleeker, 1852), merupakan ikan air tawar endemik yang awalnya hidup di Danau Singkarak.
Jenis ikan ini termasuk ke dalam :
Kelas : Pisces
Sub kelas : Teleostei
Ordo Ostariophysi
Sub ordo : Cyprinoidea
Famili : Cyprinidae.
Sub famili : Cyprininae
Genus : Mystacoleucus
Spesies : Mystacoleucus padangensis
Bleeker, 1852
Menurut Azhar (1993) dalam
Barus (2011), tanda-tanda Mystacoleucus padangensis antara lain sebagai
berikut:
1.
Sirip punggung mempunyai jari-jari keras
(berduri) yang rebah ke muka, kadangkadang duri ini tertutup oleh sisik
sehingga tidak kelihatan jika tidak diraba. Sirip dubur tidak mempunyai
jari-jari keras, hanya terdapat 8-9 jari-jari lemah;
2.
Badan bulat panjang dan pipih, tinggi badan
2-3 cm, panjang badan maksimum 11,6 cm;
3.
Sisiknya kecil-kecil dan tipis, terdapat 37-39
baris antara tengah-tengah dasar sirip punggung dan gurat sisi (lateral line);
4.
Tubuh ditutupi oleh sisik yang berwarna
keperak-perakan. Punggung dan ekor bagian sebelah sirip berwarna
kehitam-hitaman.
Bentuk badan ikan bilih
sangat mirip dengan kerabatnya, ikan genggehek (Jawa Barat) atau wader (Jawa
Tengah dan Timur), yaitu Mystacoleucus marginatus yang banyak
terdapat di perairan umum Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Ikan ini juga mirip
dengan ikan wader cakul (Jawa Tengah dan Timur), beunteur (Jawa Barat) atau
pora-pora (Sumatera Utara), yaitu Pontius binotatus. Oleh karena
sejak tahun 1990-an, ikan pora-pora di Danau Toba tidak pernah tertangkap lagi,
maka masyarakat sekitar Danau tersebut menyebut ikan bilih sebagai ikan
pora-pora yang sebenarnya adalah ikan bilih terus melekat dan populer sampai
sekarang. (Kartamihardja, E.S dan Sarnita, A.S, 2008).
Ikan bilih melakukan
reproduksi atau pemijahan dengan cara menyongsong aliran air di sungai yang
bermuara di danau. Induk jantan dan betina berupaya ke arah sungai dengan
kecepatan arus air ke arah sungai berkisar antara 0,3-0,6 m/detik dan dangkal dengan
kedalama air antara 10-20 cm. Habitat pemijahan ikan bilih adalah perairan
sungai yang jernih dengan suhu air relatif rendah, berkisar antara 24,0-26,0°C,
dan dasar sungai yang berbatu kerikil dan atau pasir. Dalam hal ini, faktor
lingkungan yang mempengaruhi pemijahan ikan bilih adalah arus air dan substrat
dasar. Ikan bilih menuju ke daerah pemijahan menggunakan orientasi visual dan
insting. Sesampainya di habitat pemijahan tersebut, ikan bilih betina
melepaskan telur dan bersamaan dengan itu juga ikan jantan melepaskan sperma
untuk membuahi telur tersebut. Telur ikan bilih yang telah dibuahi berwarna
transparan dan tenggelam berada di dasar sungai untuk kemudian hanyut terbawa
arus air masuk ke danau. (Kartamihardja, E.S dan Sarnita, A.S, 2008).
2.1.2.
Ekologi Ikan Mystacoleucus padangensis di Ekosistem Perairan Danau
Ikan
Bilis, Bilih, atau bako merupakan ikan bernama latin (Mystacoleucus padangensis) yaitu penghuni danau, namun beruaya (migrasi) ke arah
hulu ketika hendak memijah. Makanan utama ikan ini adalah detritus dan zooplankton;
akan tetapi bilis juga sering memakan fitoplankton
dan bahan nabati lain yang jatuh ke badan air.
Perairan disebut danau
apabila perairan itu dalam dengan tepi yang umumnya curam. Air danau biasanya
bersifat jernih dan keberadaan tumbuhan air terbatas hanya pada daerah pinggir
saja. Berdasarkan pada proses terjadinya danau dikenal danau tektonik yang
terjadi akibat gempa dan danau vulkanik yang terjadi akibat aktivitas gunung
berapi (Barus, 2004).
Dalam Riwayati dan Sinaga
(2010), klasifikasi danau menurut geomorfologinya adalah sebagai berikut:
a. Danau Tektonik
Danau yang dibentuk oleh
pergerakan kerak bumi. Contohnya Danau Baikal dan Danau Victoria. Umumnya
danau-danau ini mempunyai badan air sangat dalam.
b. Danau Vulkanik
Bahan-bahan vulkanik
disemburkan ke atas hingga terbentuklah lubang besar atau lubang besar yang
terbentuk magma yang dikeluarkan mendingin dan menyusut. Contohnya danau-danau
di daerah tropis Asia.
c. Danau Longsoran
Pergerakan sejumlah besar
material oleh longsoran ke dalam lembah sungai dapat menyebabkan pembendungan
dan terjadilah danau. Contohnya Danau Alpin.
d. Danau Glasial
Terbentuknya karena efek
pengikisan dari pergerakan es glasial.
e. Danau Sungai
Terbentuk akibat pengikisan
oleh aliran air sungai. Contohnya danaudanau di Washington.
f. Danau Solusi
Terbentuk akibat melarutnya
batuan oleh air hujan, misalnya pelarutan kalsium karbonat oleh air yang agak
masam. Contohnya Danau Florida.
Selanjutnya, Menurut Odum
(1994) dalam Sitorus (2009), ekosistem danau mempunyai tiga zona yaitu:
1. Litoral
Daerah ini merupakan daerah
dangkal. Cahaya matahari menembus dengan optimal. Air yang hangat berdekatan
dengan tepi. Tumbuhannya merupakan tumbuhan air yang berakar dan daunnya ada
yang mencuat ke atas permukaan air. Komunitas organisme sangat beragam termasuk
jenis-jenis ganggang yang melekat (khususnya diatom), berbagai siput dan remis,
serangga, krustacea, ikan, amfibi, reptilia air dan semi air seperti kura-kura
dan ular, itik dan angsa, dan beberapa mamalia yang sering mencari makan di
danau.
2. Limnetik
Daerah ini merupakan daerah
air bebas yang jauh dari tepi dan masih dapat ditembus sinar matahari. Daerah
ini dihuni oleh berbagai fitoplankton, termasuk ganggang dan sianobakteri.
Ganggang berfotosintesis dan bereproduksi dengan kecepatan tinggi selama musim
panas dan musim semi. Zooplankton yang sebagian besar termasuk
Rotifera dan udang-udangan kecil memangsa fitoplankton. Zooplankton dimakan
oleh ikan-ikan kecil. Ikan kecil dimangsa oleh ikan yang lebih besar, kemudian
ikan besar dimangsa ular, kura-kura, dan burung pemakan ikan.
3. Profundal
Daerah ini merupakan daerah
yang dalam, yaitu daerah afotik danau. Mikroba dan organisme lain menggunakan
oksigen untuk respirasi seluler setelah mendekomposisi detritus yang jatuh dari
daerah limnetik. Daerah ini dihuni oleh cacing dan mikroba. Menurut Soemarwoto,dkk
(1990), meskipun di lapisan bawah beberapa danau tidak dapat ditembus oleh
cahaya matahari, tetapi masih ada organism anaerobik yang terdapat di dasar
danau. Di dasar danau terdapat banyak materi
organik karena semua organisme yang mati dari
bagian atas perairan akan tenggelam ke dasar. Materi organik ini digunakan
sebagai makanan oleh saprovor.
Ikan bilih memijah dengan
cara mengikuti aliran air sungai yang bermuara ke danau. Ikan ini adalah
spesies yang awalnya ditemukan hanya berada di danau singkarak yaitu salah satu
danau yang berada di pulau sumatera dan memiliki sumber air dari sungai-sungai
disekitarnya berhulu ke danau singkarak, yang kondisi air yang dulunya sangat
baik bagi perkembangan ikan bilih. Namun, sekarang ikan ini telah di introduksi
ke danau toba yang juga merupakan salah satu danau yang berada di pulau
sumatera. Seperti halnya di Danau Singkarak, di Danau Toba juga terdapat sungai
yang rnasuk danau dengan air yang jernih, suhu air yang dingin (25,0 - 27,5 ºC) dan dasar
perairan berbatu atau berpasir. Sungai yang masuk danau Toba tercatat sebanyak
152 buah sungai dan 212 anak sungai dimana sebanyak 71 buah sungai selalu
berair sepanjang tahun. Sungai yang masuk ke danau tersebut umumnya berair
jernih, berbatu dan atau berpasir sehingga sangat sesuai sebagai tempat
pernijahan ikan bilih.
Di sekitar Danau
Singkarak, sungai-sungai tersebut di antaranya adalah Batang
Sumpur, Paninggahan, dan Muaro Pingai. Nampaknya tidak ada musim memijah
yang tertentu, karena selalu ada saja induk yang beruaya masuk ke sungai dan
bertelur. Faktor lingkungan yang mempengaruhi pemijahan ikan bilih adalah arus
air dan substrat dasar sungai. Ikan ini memilih perairan sungai yang jernih
dengan suhu air yang relatif rendah, antara 24–26°C, dan dasar sungai yang
berbatu kerikil dan atau pasir. Telur-telur dikeluarkan oleh induk-induk ikan
di dasar sungai, dibuahi oleh ikan jantan, dan tenggelam ke dasar untuk
kemudian hanyut terbawa arus air yang akan masuk ke danau. Kini beberapa
habitat ikan ini berkembang dengan baik di perairan danau singkarak dan danau
toba, penjelasan pada ke 2 (dua) danau selanjutnya. Antara lain di bawah ini:
a.
Danau Singkarak
Danau Singkarak merupakan salah satu danau
vulkanis yaitu danau yang terbentuk dari bekas letusan gunung berapi yang
terjadi pada masa kwarter, berupa jenis–jenis berbatuan beku vulkanis dan
instrusi hampir seluruh daerah di sekitar danau tersebut (Wikipedia, 2012). Danau Singkarak adalah sebuah danau yang membentang
di dua kabupaten di provinsi Sumatera
Barat, Indonesia,
yaitu kabupaten Solok dan kabupaten Tanah Datar. Danau Singkarak
merupakan Danau terluas ke dua di Sumatera setelah Danau Toba. Danau ini
terletak pada ketinggian 369 m dpl. Danau ini memiliki daerah aliran air
sepanjang 1.076 km dengan curah hujan 82 - 252 mm/bln. Letak geografis Danau
Singkarak pada koordinat 100º28’28”BT sampai 100º36’08”BT dan 0º32’01”LS sampai
0º42’03”LS. Luas permukaan danau Singkarak mencapai 10.908,2 ha dengan panjang
maksimum 20,808 km dan lebar maksimum 7,175 km dengan ke dalaman 271,5 m
(Syandri, 2008). Selanjutnya Wikipedia (2013) menjelaskan bawha danau ini
memiliki daerah aliran air sepanjang 1.076 kilometer dengan curah hujan 82
hingga 252 melimeter per bulan, Ikan bilih
(Mystacoleucus padangensis) merupakan spesies ikan yang diperkirakan
hanya hidup di danau ini, dan menjadi salah satu makanan khas. Penelitian para
ahli mengungkapkan 19 spesies ikan perairan air tawar hidup di habitat Danau
Singkarak, Kabupaten Solok dan Tanah Datar, Sumatera Barat (Sumbar), dengan
ketersediaan bahan makanannya yang terbatas. Dari 19 spesies itu, tiga spesies
di antaranya memiliki populasi kepadatan tinggi, yakni ikan Bilih/Biko (Mystacoleusus padangensis Blkr),
Asang/Nilem (Osteochilus brachmoides)
dan Rinuak. Spesies ikan lainnya yang hidup di Danau Singkarak adalah,
Turiak/turiq (Cyclocheilichthys de Zwani),
Lelan/Nillem (Osteochilis vittatus),
Sasau/Barau (Hampala mocrolepidota)
dan Gariang/Tor (Tor tambroides).
Kemudian, spesies ikan Kapiek (Puntius
shwanefeldi) dan Balinka/Belingkah (Puntius
Belinka), Baung (Macrones planiceps),
Kalang (Clarias batrachus), Jabuih/Buntal (Tetradon
mappa), Kalai/Gurami (Osphronemus
gurami lac) dan Puyu/Betok (Anabas testudeneus). Selanjutnya, spesies ikan Sapek/Sepat
(Trichogaster
trichopterus), Tilan (Mastacembelus
unicolor), Jumpo/Gabus (Chana
striatus), Kiuang/Gabus (Chana
pleurothalmus) dan Mujaie/Mujair (Tilapia
pleurothalmus). Dengan hanya ada 19
spesies ikan yang hidup di Danau Singkarak menunjukkan keanekaragaman ikan di
tempat itu tidak telalu tinggi. Kondisi mesogotrofik Danau Singkarak yang
menyebabkan daya dukung habitat ini untuk perkembangan dan pertumbuhan
organisme air seperti plankton dan betos, sangat terbatas.Dari beberapa kali
penelitian menunjukan populasi plankton dan betos di Danau Singkarak sangat
rendah.Padahal komunitas plankton (fitoplankton dan zooplankton) merupakan
basis dari terbentuknya suatu mata rantai makanan dan memegang peranan sangat
penting dalam suatu ekosistem danau. Kondisi tersebut, menyebabkan sumber
nutrisi utama ikan secara alamiah umumnya adalah berbagai jenis plankton dan
bentos. Letak geografis Danau Singkarak berada pada koordinat. Topografi daerah
ini merupakan dataran yang terdiri dari perairan dan daratan, daerah daratan
dimanfaatkan sebagai perumahan, perkebunan, perairan danau dan perairan sungai.
Berdasarkan (Kantor Wali Nagari Muaro Pingai dalam Sartika, 2013) Luas
lahan pertanian di sekitar Danau Singkarak 853 ha, 1017 ha perkebunan, dan 262
ha pemukiman.
Danau Singkarak merupakan
salah satu danau yang dijumpai di Sumatera Barat yang memiliki beberapa fungsi
yaitu daerah tujuan wisata, perikanan, pembangkit tenaga listrik serta irigasi.
Di danau ini hidup salah satu spesies ikan yang khas yaitu ikan Bilih
(Mystacoleucus padangensis Blkr) yang sifatnya endemik dan berstatus langka.
Seperti diketahui, Kartamihardja dan Sarnita (2008) menyatakan bahwa makanan utama ikan bilih di habitat aslinya
pada Danau Singkarak adalah detritus dan zooplankton.
Selanjutnya Siagian (2009)
menyatakan dominan tidaknya suatu jenis dalam ekosistem dapat dilihat dengan
berbagai cara yaitu dengan menentukan banyaknya individu dari jenis dalam
satuan luas, melihat luas area yang ditempati oleh masing-masing jenis serta
sering tidaknya suatu jenis dijumpai pada setiap tempat. Dalam hal ini ikan
Bilih memiliki jumlah dan kelimpahan terbesar, kemudian juga dapat ditemukan
pada hampir setiap tempat/lokasi perairan danau. Dominannya ikan bilih yang ada
di perairan Danau Singkarak ini juga disebabkan kondisi perairannya yang
memiliki tingkat kesuburan fosfat yang bersifat eutrofikasi, dimana kandungan
fosfat yang tinggi juga akan mempengaruhi kelimpahan fitoplankton di dalam
perairan. Berdasarkan Sartika (2013), secara keseluruhan konsentrasi fosfat di
danau tersebut digolongkan perairan yang yang tinggi nutrien (Eutrofik).
Dimana, Fungsi ikan Bilih ini
cukup besar bagi sosial-ekonomi masyarakat di sekitar danau, karena memiliki
nilai ekonomis tinggi dan nilai kesejahteraan serta gizi masyarakat yang berada
di pedesaan (Junaidi, dkk. 2009). Perlunya pengetahuan indeks gonad somatik
(IGS) merupakan salah satu aspek yang memiliki peran penting dalam biologi
perikanan, dimana nilai IGS digunakan untuk memprediksi kapan ikan tersebut
akan siap dilakukannya pemijahan, penelitian tentang IGS ikan bilih di danau
singkarak dilakukan oleh seorang peneliti Junaidi, dkk (2009). Dimana Nilai IGS
tersebut nantinya akan mencapai batas kisaran maksimum pada saat akan
terjadinya pemijahan, sehingga dapat dikatakan bahwa pemijahan adalah sebagai
salah satu bagian dari reproduksi yang merupakan mata rantai daur hidup yang
menentukan kelangsungan hidup spesies nantinya. Pada penelitian Enggar dkk
(2001) diperoleh panjang total ikan
Bilih yang sudah matang gonad berkisar atara 75 - 105 mm dengan kisaran berat
tubuh atara 3,5 - 9,4 gram serta berat gonad 0,22 - 1,09 gram. Ukuran ikan pada
saat pertama kali matang gonad tidak selalu sama dimana tergantung pada keadaan
ekologis perairan danau singkarak ini.
Berbagai
macam aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar danau tentu saja akan
mempengaruhi kehidupan organisme di dalamnya, khususnya organisme akuatik.
Pemukiman penduduk yang semakin bertambah mengakibatkan jumlah limbah domestik
ke perairan setiap harinya juga bertambah. Di sekitar danau juga dipenuhi oleh
kegiatan pertanian milik masyarakat setempat yaitu berupa sawah-sawah dengan
ukuran yang luas dimana aliran dari pengairan persawahan tersebut dialirkan ke
sungai-sungai dan akhirnya bermuara ke Danau Singkarak. Berdasarkan Pemerintah
Kabupaten Solok (2012), potensi hasil pertanian setiap tahunnya meningkat, pada
tahun 2011 hasil panen tanaman padi mencapai 337.643 Ton. Aktivitas masyarakat
lainnya di perairan danau adalah adanya budidaya ikan keramba dan perikanan
tangkap. Jumlah produksi budidaya ikan keramba di Danau Singkarak pada Tahun
2011 sebesar 97,08 Ton, sedangkan untuk perikanan tangkap sebesar 82,52 Ton
(Pemerintah Kabupaten Solok, 2012). Dengan adanya berbagai macam aktivitas
tentu saja akan memberikan dampak positif dan negatif bagi perairan danau.
Tanpa adanya upaya pengelolaan terhadap sumber air yang memasuki perairan danau
maka tidak dapat dihindari kualitas perairan di danau ini bisa saja akan
mengalami penurunan. Penurunan kualitas perairan yang terjadi dapat
mempengaruhi kehidupan organisme akuatik yang hidup di danau tersebut sehingga
kemungkinan adanya pengaruh terhadap komunitas ikan akan terjadi.
Berbagai
aktivitas yang dilakukan masyarakat di perairan dan di sekitar perairan Danau
Singkarak akan memberikan dampak terhadap kualitas perairan di danau tersebut.
Kegiatan seperti MCK, pertanian, pariwisata dan kegiatan perikanan lainnya
dapat mempengaruhi ekosistem serta organisme yang hidup di dalamnya. Sampah
yang dihasilkan dari limbah rumah tangga masyarakat dan dari kegiatan
pariwisata juga menjadi permasalahan yang cukup serius saat ini berupa limbah
cair dan padat. Masyarakat sepertinya masih kurang menyadari akan pentingnya
menjaga kebersihan dan keindahan ekosistem danau. Septiano (2006) berdasarkan
penelitiannya, dapat menjelaskan bahwa tingkat kestabilan atau tinggi rendahnya
tingkat keanekaragaman dapat juga dipengaruhi oleh tingkat tekanan ekologi yang
diterima oleh perairan tersebut, sebagai contoh padatnya pemukiman dan
aktivitas penduduk disekitar lokasi penelitian sehingga menurunkan kualitas
keanekaragaman sumberdaya hayati ikan yang ada.
Kondisi
perairan danau singkarak memiliki
substrat yang terdiri dari batuan dan kerikil, serta sedikit berlumpur membuat
lokasi ini dijadikan sebagai tempat penangkapan ikan dengan sistem alahan dan
jala.
b. Danau Toba
Danau Toba selain
dimanfaatkan sebagai daerah wisata karena keindahannya yang mempesona juga
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai tempat pencarian ikan,
seperti ikan mujahir, ikan mas (Cyprinus carpio) dan juga ikan pora pora
(Mystacoleucus padangensis). Awalnya, Ikan bilih dianggap hanya bisa hidup
di Danau Singkarak, namun sejak tahun 2003, ikan bilih
mulai dicoba untuk diperkenalkan untuk dibudidayakan di luar danau tersebut.
Melalui penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) dihasilkan
bahwa ikan bilih dengan penanganan tertentu dapat diperkenalkan ke habitat danau
lain. Hingga saat ini danau lain sebagai tempat budidaya baru ikan bilih adalah
Danau Toba
di Sumatera
Utara. Danau Toba adalah
sebuah danau
vulkanik dengan ukuran panjang 100 kilometer dan lebar 30 kilometer yang terletak di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.
Danau ini merupakan danau terbesar di Indonesia dan
Asia
Tenggara. Di tengah danau ini terdapat sebuah pulau vulkanik bernama Pulau
Samosir.
Menurut Kartamihardja, E.S.
(2009), ada beberapa alasan mengapa ikan bilih hidup, tumbuh dan berkembang
pesat di Danau Toba, yaitu karena:
1. Di danau toba tersedia makanan ikan bilih
yang berupa pankton, detritus dan sisa pakan dari budidaya Keramba Jaring Apung
(KJA) yang cukup melimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal oleh ikan lain,
2.
Ikan bilih termasuk ikan benthopelogis,
yaitu jenis ikan yang dapat memanfaatkan jenis makanan yang berada di dasar
perairan (benthic) maupun di lapisan tengah dan permukaan air (pelagic).
3. Ikan bilih tidak berkompetisi makanan dan
ruang dengan ikan lain di danau Toba seperti ikan mujair, mas, nila dan
lainnya.
Danau Toba sejak lama menjadi daerah tujuan wisata
penting di Sumatera Utara selain Bukit
Lawang, Berastagi
dan Nias, menarik
wisatawan domestik maupun mancanegara. Diperkirakan Danau Toba terjadi saat ledakan sekitar
73.000-75.000 tahun yang lalu dan merupakan letusan supervolcano
(gunung berapi super) yang paling baru. Bill Rose
dan Craig
Chesner dari Michigan Technological University
memperkirakan bahwa bahan-bahan vulkanik yang dimuntahkan gunung itu sebanyak
2.800 km³, dengan 800 km³ batuan ignimbrit dan 2.000 km³ abu vulkanik yang
diperkirakan tertiup angin ke barat selama 2 minggu. Debu vulkanik yang ditiup
angin telah menyebar ke separuh bumi, dari Cina sampai ke Afrika
Selatan. Letusannya terjadi selama 1 minggu dan lontaran debunya mencapai
10 km di atas permukaan laut. Kejadian ini menyebabkan kematian massal dan pada
beberapa spesies juga diikuti kepunahan. Menurut beberapa bukti DNA, letusan ini juga
menyusutkan jumlah manusia sampai sekitar 60% dari jumlah populasi manusia bumi
saat itu, yaitu sekitar 60 juta manusia. Letusan itu juga ikut menyebabkan
terjadinya zaman
es, walaupun para ahli masih memperdebatkannya. Setelah letusan tersebut,
terbentuk kaldera
yang kemudian terisi oleh air dan menjadi yang sekarang dikenal sebagai Danau
Toba. Tekanan ke atas oleh magma yang belum keluar menyebabkan munculnya Pulau
Samosir. Tim peneliti multidisiplin internasional, yang dipimpin oleh Dr.
Michael Petraglia, mengungkapkan dalam suatu konferensi pers di Oxford, Amerika
Serikat bahwa telah ditemukan situs arkeologi baru yang cukup spektakuler oleh
para ahli geologi di selatan dan utara India. Di situs itu terungkap bagaimana
orang bertahan hidup, sebelum dan sesudah letusan gunung berapi (supervolcano)
Toba pada 74.000 tahun yang lalu, dan bukti tentang adanya kehidupan di bawah
timbunan abu Gunung Toba. Padahal sumber letusan berjarak 3.000 mil, dari
sebaran abunya. Selama tujuh tahun, para ahli dari oxford University tersebut
meneliti projek ekosistem di India, untuk mencari bukti adanya kehidupan dan
peralatan hidup yang mereka tinggalkan di padang yang gundul. Daerah dengan
luas ribuan hektare ini ternyata hanya sabana (padang rumput). Sementara tulang
belulang hewan berserakan. Tim menyimpulkan, daerah yang cukup luas ini
ternyata ditutupi debu dari letusan gunung berapi purba.
Berdasarkan seminar Hidayati
(2010) menyatakan bahwa danau toba merupakan danau kaldera (bekas letusan
gunung berapi) terluas didunia, yang berusia sekitar 75.000 tahun. Terbentuk
karena letusan Gunung Toba Purba yang diperkirakan sebagai letusan terdahsyat
selama kurun dua juta tahun. Letusan itu membuat Amerika Utara mengalami satu
tahun tanpa musim panas karena matahari tertutup debunya. Suplai air diisi oleh
sekitar 100 anak sungai dan puluhan air terjun. Selain itu danau ini
dikelilingi hutan tropis, hutan produksi, dan lahan pertanian. Dapat dipastikan
kekayaan flora dan faunanya jauh lebih besar karena terhubung dengan Bukit
Barisan, salah satu hutan paru-paru dunia.
Penyebaran debu gunung berapi itu sangat luas, ditemukan
hampir di seluruh dunia. Berasal dari sebuah erupsi supervolcano purba, yaitu
Gunung Toba. Dugaan mengarah ke Gunung Toba, karena ditemukan bukti bentuk
molekul debu vulkanik yang sama di 2100 titik. Sejak kaldera kawah yang kini
jadi danau Toba di Indonesia, hingga 3000 mil, dari sumber letusan. Bahkan yang
cukup mengejutkan, ternyata penyebaran debu itu sampai terekam hingga Kutub
Utara. Hal ini mengingatkan para ahli, betapa dahsyatnya letusan super gunung
berapi Toba kala itu. Sekarang danau toba kini memiliki keanekaragaman dan
unsure hara yang melimpah dimana perairannya yang eksotis dan jernih. Sehingga
daerah ini sangat baik bagi kehidupan ikan bilih dimana menyukai perairan
jernih, suhu perairan rendah (26,0 – 28,0 oC) dan perairannya berbatu
kerikil dan atau pasir. Berdasarkan
sifat dan kebiasaan makannya, ikan bilih termasuk ikan benthopelagis, yaitu
jenis ikan yang dapat memanfaatkan jenis makanan yang berada di dasar perairan
mupun di lapisan tengah dan permukaaan air. Kartamihardja dan Sarnita (2008)
menyatakan bahwa makanan utama ikan
bilih di habitat aslinya Danau Singkarak adalah detritus dan zooplankton
sedangkan di perairan Danau Toba makanan utama ikan bilih adalah detritus dan
fitoplankton serta makanan tambahannya adalah zooplankton dan seresah. Selanjutnya mereka menyatakan bahwa makanan utama ikan bilih di kedua
perairan tersebut hampir sama hanya sedikit berbeda dalam prosentase
komposisinya.
Menurut
Kartamihardja dan Sarnita (2008) bahwa keberadaan ikan bilih di perairan Danau
Toba tidak menunjukan kompetisi makanan yang dilihat berdasarkan indeks kesamaan jenis. Dengan demikian
ikan bilih di perairan Danau Toba dapat memanfaatkan jenis makanan alami yang
tersedia serta mengisi relung (niche) makanan yang masih kosong. Hasil
monitoring perkembangan ikan bilih di danau Toba menunjukkan bahwa setelah 2
tahun penebaran, ikan bilih dapat tumbuh dan berkembang biak dengan baik. lkan
bilin di danau Toba tumbuh dengan kisaran panjang total antara 4,O-15,8 crn dan
kisaran berat antara 0,5-30,O gram, sedangkan di danau Singkarak mempunyai
panjang total antara 4'0-8,5 cm dan kisaran berat antara 0,5-5,1 gram
(Kartamihardja dan Purnomo, 2006).
Kini sebagian penduduk di
sekitar danau ini bekerja mencari ikan di daerah Danau Toba banyak yang membuka
usaha keramba jaring apung. Namun, hal tersebut sering kali dianggap sebagai
masalah baru karena pertumbuhan keramba-keramba tersebut dinilai dapat
mengurangi keindahan panorama alam danau Toba serta dapat mencemari perairan
danau. Keramba Jaring Apung (KJA) merupakan salah satu wadah budidaya ikan yang
cukup ideal yang dewasa ini cukup popular karena dapat meningkatkan produksi
ikan. Kegiatan budidaya ikan dalam jaring apung pada suatu perairan air tawar
seperti Danau Toba dapat memberikan dampak yang besar terhadap lingkungan
perairan, baik berupa dampak positif maupun dampak negatif. Pengembangan usaha
budidaya ikan dengan sistem KJA tersebut akan memberikan dampak positif berupa
penciptaan lapangan kerja yang baru dan dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat setempat. Tetapi dilain sisi, KJA dapat membawa dampak negatif bagi
lingkungan perairan yaitu menurunnya kualitas
perairan di Danau Toba.
2.1.3. Habitat Reproduksi dan Sifat Pemijahan Ikan Bilih
Ikan bilih melakukan pemijahan pada kondisi perairan mempunyai
arus jernih, dangkal. Substrat
dasar terdiri atas kerikil dan karakal. Suhu perairan berkisar antara 24°C sampai
dengan 26°C. Berdasarkan kriteria kondisi perairan tempat ikan bilih memijah,
maka dapat dinyatakan faktor lingkungan yang mempengaruhi pemijahan ikan bilih
adalah arus dan substrat dasar.
Populasi ikan bilih memijah setiap hari sepanjang tahun
dimulai sore hingga malam harinya sekitar pukul 03.00 WIB. Puncak pemijahan
ikan bilih terjadi pada pagi hari mulai dari jam 05.00 sampai dengan jam 09.00,
yaitu digambarkan dengan banyaknya telur yang dilepaskan (Kartamihardja dan
Sarnita,2008). Telur hasil pemijahan
dihanyutkan oleh arus sungai ke danau dan menetas sekitar 19 jam pada suhu 27°C
sampai dengan 28°C. Ikan bilih menuju kedaerah pemijahan menggunakan orientasi
visual dan insting dengan sifat pemijahan "parsial" yaitu
tidak mengeluarkan telur matang sekaligus dalam satu kali periode pemijahan. Selanjutnya
pemijahan ikan yang bersifat parsial merupakan adaptasi ikan terhadap
lingkungan perairan sungai yang kondisinya relatif labil. Dengan pemijahan
berkali-kali, maka terhindarlah kemungkinan telur terbawa arus sungai. Justru
sebaliknya terjadi pada ikan bilih, telur yang dipijahkan dikolom air pada
sungai yang berarus hanyut ke perairan danau kemudian menetas dan tumbuh
menjadi dewasa. Faktor lingkungan yang mempengaruhi pemijahan ikan bilih
adalah arus air dan substrat dasar sungai. Ikan ini memilih perairan sungai
yang jernih dengan suhu air yang relatif rendah, antara 24–26°C, dan dasar
sungai yang berbatu kerikil dan atau pasir. Telur-telur dikeluarkan induk-induk
ikan di dasar sungai, dibuahi oleh ikan jantan, dan tenggelam ke dasar untuk
kemudian hanyut terbawa arus air masuk ke danau (www.wikipedia.com).
Kedalaman
air sangat sesuai dengan habitat ikan bilah di pelagik danau yang memiliki 20 sampai 100 cm dengan warna
air yang jernih. Sesuai dengan pernyataan (Panjaitan, 2010) ikan bilih
melakukan pemijahan pada kondisi perairan mempunyai arus jernih, dangkal.
Substrat dasar terdiri atas kerikil dan karakal. Suhu perairan berkisar antara
24°C sampai dengan 26°C Sesuai dengan kondisi perairan yang cukup baik sehingga
ikan-ikan yang tertangkap jumlahnya lebih banyak (Lubis dkk, 2012). Selanjutnya
Lubis dkk (2012) dalam penelitiannya mendapatkan hasil penelitian dimana
Berdasarkan nilai indeks dominansi yang diperoleh ada satu jenis ikan yang
mendominansi di perairan danau ini yaitu jenis ikan Bilih (Mystacoleucus sp)
yang merupakan ikan endemik dari Danau Singkarak. Kemudian berdasarkan nilai
indeks keseragaman ikan pelagik di perairan Danau Singkarak ini tergolong
kepada keadaan yang tidak seimbang dan diduga terjadi persaingan dalam mencari
makanan dan habitatnya. Hasil pengukuran parameter fisika dan parameter kimia
kualitas air di perairan Danau Singkarak, Lubis dkk (2012) selama penelitian
secara umum masih mendukung kehidupan organisme ikan-ikan pelagik yang hidup di
perairan danau ini. Berdasarkan PP No.82 Tahun 2001, dapat diketahui bahwa
kondisi perairan Danau Singkarak masih berada pada kondisi yang normal sehingga
masih mampu untuk mendukung kehidupan organisme (akuatik) di dalamnya,
khususnya organisme ikan.
Agar kelestarian populasi
ikan Bilih tetap terjamin maka dibutuhkan pengelolaannya. Aspek penting untuk
kelestarian populasi ikan Bilih adalah aspek reproduksi yang merupakan aspek
dasar biologi ikan. Keberhasilan reproduksi ikan akan menunjukkan kelangsungan
populasi ikan tersebut dalam lingkungan ikan.
2.1.4. Introduksi
Ikan Bilih di Perairan Danau Toba
lntroduksi ikan adalah salah
satu teknik pemacuan stok ikan (stock enhancement) yang telah lama dan banyak
dilakukan di perairan danau dan waduk untuk rnengisi relung ekologi yang kosong
sehingga rnemperbaiki keseirnbangan komposisi jenis dan meningkalkan produksi
ikan (Cowx, 1994; Cowx, 1999). Di Indonesia, introduksi dan penebaran ikan
teiah dilakukan sejak dahulu kala, narnun hanya beberapa kasus saja yang
berhasil baik (Sarnita, 1986). Kegagalan introduksi ikan umurnnya disebabkan
introduksi yang dilakukan kurang didasari dengan inforrnasi ilrniah yang
rnemadai. Penyebab utama dari rendahnya produksi
tersebut adalah struktur komunitas ikan yang kurang sesuai dengan potensi
surnberdaya yang tersedia. Oleh karena itu, introduksi ikan yang didasari
dengan informasi ilmiah rnulai dari pernilihan jenis ikan yang sesuai dengan
habitat perairan yang akan dijadikan target sampai kepada penyusunan
protokolnya yang rnerupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
rnernecahkan masalah tersebut.
Salah satu upaya peningkatan produktivitas perairan umum
misalnya danau adalah kegiatan introduksi ikan, yaitu memindahkan atau
menebarkan ikan dari suatu perairan ke perairan yang lain dimana jenis ikan
yang ditebarkan pada awalnya tidak terdapat di perairan tersebut. Sangat perlu
diinformasikan bahwa ikan bilih bukan native species atau ikan asli Danau Toba
walaupun banyak masyarakat setempat yang menyatakan ikan bilih sebagai ikan
pora-pora (Puntius binotatus) sejenis
ikan yang mirip dengan ikan bilih dan berlimpah
jumlahnya di Danau Toba pada waktu silam dan selanjutnya setelah tahun
1990-an jumlah populasinya sudah langka.
Ikan Bilih dari Danau Singkarak diintoduksi ke dalam
perairan Danau Toba melalui proses
sederetan penelitian yang cukup lama
oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen
Kelautan dan Perikanan. Penelitian yang dimaksud antara lain: (1) Penelitian
dasar yang mempelajari tingkah laku ikan bilih di habitat aslinya meliputi
aspek makanan dan kebiasaan makan, pertumbuhan dan reproduksi serta
karakteristik habitat yang diperlukanya untuk pencarian makanan, pemijahan dan
pemeliharaan larva (asuhan); (2) Kajian tentang karakteristik habitat,
ketersediaan makanan dan struktur populasi ikan serta relung ekologi di Danau Toba, yang bertujuan untuk membuktikan
secara ilmiah bahwa ikan bilih dapat menempati habitat yang sesuai bagi kehidupannya,
makanan alaminya tersedia dan dapat mengisi relung ekologis yang kosong
sehingga tidak berkompetisi dan merugikan jenis ikan asli yang hidup di
perairan Danau Toba; (3) Penelitian dan pengembangan pembenihan ikan bilih yang
bertujuan untuk memperoleh benih ikan bilih secara berkelanjutan tanpa
bergantung kepada benih alam. Walaupun kegiatan pembenihan telah dilakukan
tetapi benih atau calon induk ikan bilih
yang diintroduksi ke perairan Danau Toba bukan berasal dari hasil pembenihan
melainkan langsung dari Danau Singkarak. Menurut Karthamihardja dan
Purnomo (2006) mengemukakan bahwa monitoring dan evaluasi pertumbuhan,
distribusi populasi dan hasil tangkapan ikan bilih dilakukan pada tahun 2005
atau dua tahun pasca penebaran. Sampel ikan bilih diperoleh dari hasil
tangkapan nelayan, diukur panjang total dan beratnya, diambil saluran
pencernaannya untuk kernudian diberi label dan diawetkan dengan formalin 40%.
Makanan dan kebiasaan makan diteliti dengan rnenggunakan metode proponderans
(Effendie, 1979).
Distribusi atau penyebaran
populasi ikan bilih meliputi seluruh perairan danau Toba bahkan ditemukan pula
di daerah pelagis dan limnetik danau yang selama ini sangat sedikit sekali
dihuni oleh jenis ikan lain. Pada tahun 2005, potensi produksi ikan danau Toba
ditaksir sekitar 2.520-7.310 tonitahun atau antara 23-65 kglhalth. Potensi
produksi ikan tersebut menunjukkan peningkatan jika dibandingkan dengan potensi
produksi ikan yang ditaksir pada tahun 1986 sekitar 6-24 kglhalth
(Kartamihardja, 1987) dan pada tahun 1996 sekitar 5,8-30,9 kglhalth (Tjahjo et all.,
1998).
Berdasarkan
Peraturan Pemerintah NO. 82 Tahun 2001 tentang baku mutu kualitas perairan,
parameter kualitas air yang diukur masih dapat mendukung kelangsungan organisme
perairan dalam hal ini ikan. Selain itu menurut Samuel (dalam Kristina,
2001), kelimpahan ikan dalam suatu perairan dipengaruhi beberapa faktor
pembatas antara lain: fekunditas, ruang gerak, kompetisi, penyakit, dan batas
waktu bertahan hidup. Kemudian menurut Axelord dan Schulz (1983), pada umumnya
kelimpahan jenis suatu ikan juga tergantung pada kelimpahan makanan yang ada
disetiap habitat, selain kondisi fisik habitat itu sendiri. Pernyataan Odum (1993), mengemukakan bahwa
ada dua hal penting dalam ruang lingkup keanekaragaman, yaitu banyaknya spesies
yang ada dalam suatu komunitas dan kelimpahan dari masing-masing spesies
tersebut. Semakin kecil jumlah spesies dan variasi jumlah individu tiap
spesies, atau ada beberapa individu yang jumlahnya lebih besar atau mendominasi
maka otomatis keanekaragaman suatu ekosistem akan mengecil.
Di habitat aslinya, selain
upaya penebaran ikan bilih yang dihasilkan dari pembenihan, penyediaan suaka
buatan dianggap menjadi altenatif lebih baik untuk menyelamatkan populasinya
dari kepunahan. Oleh karena itu, pada tahun 2003 model suaka buatan untuk ikan
bilih telah dibangun di Sungai Sumpur, salah satu sungai yang masuk danau
(Kartamihardja dan Purnomo, 2006). Suaka tersebut dimaksudkan sebagai sarana
untuk memproduksi benih ikan bilih secara alami. Hasil evaluasi menunjukkan
bahwa suaka buatan dapat berfungsi baik. Sehingga suaka sejenis perlu dibangun
di beberapa lokasi penangkapan seperti di sungai Paninggahan dan Muara Pingai
sebagai sentra penangkapan ikan bilih dengan sistem alahan.
Berdasarkan hasil
menunjukkan bahwa populasi ikan bilih di Danau Toba bertumbuh dengan
pesat. Hal ini tergambar pada tahun 2005, hasil tangkapan ikan bilih di
beberapa tempat sebesar 653,6 ton atau dari total hasil tangkapan ikan dari
Danau Toba. Selanjutnya suatu perkiraaan total hasil tangkapan pada tahun 2008
hampir tiga kali lipat lebih besar dibandingkan pada tahun 2008. Berkembangnya populasi
ikan bilih di Danau Toba dapat juga digambarkan oleh ukuran panjang tubuhnya,
yaitu pada tahun 2005, modus panjang total ikan bilih yang tertangkap adalah
6,5 dan 12,5 dan pada tahun 2008 modus panjang totalnya adalah 13,5 cm dan 18,5
cm (Kartamihardja dan Sarnita ,2008). Sedangkan modus panjang total ikan billih di
Danau Singkarak pada tahun 2003 adalah 6.5 cm.
Berkembangnya
populasi ikan bilih di Danau
Toba disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain: (1) Karakteristik limnologis Danau Toba yang mirip dengan Danau
Singkarak; (2) Habitat pemijahan ikan bilih di Danau Toba tersedia dan lebih
luas dari pada Danau Singkarak. Beberapa daerah pemijahan utama ikan bilih di
Danau Toba terdapat di Sungai Sipangolu di Bakara, Sungai Sipiso-piso di Tongging, Sungai Naborsahan di Ajibata; (3) Makanan alami
sebagai makanan utama ikan bilih cukup tersedia dan belum seluruhnya
dimanfaatkan oleh jenis ikan yang hidup di Danau Toba; dan (4) Daerah pelagis
dan limnetik Danau Toba jauh lebih luas. Meningkatnya kelimpahan fitoplankton di perairan Danau
Toba dapat menyebabkan pertumbuhan populasi ikan bilih. Kelimpahan fitoplankton tersebut disebabkan
oleh meningkatnya kesuburan perairan Danau Toba akibat adanya pemasukan unsur
hara dari kegiatan budidaya ikan intensif di KJA dan dari limbah domestik,
hotel serta limbah pertanian dan peternakan di sekitar kawasan Danau Toba.
Kartamihardja dan Sarnita (2008) meyatakan bahwa sehubungan adanya peningkatan kesuburan
perairan akibat meningkatnya unsur hara kepadatan
fitoplankton di Danau Toba sebagai makanan ikan bilih dari sekitar 8000 sel per
liter tahun 1996 menjadi 41.000 sel per liter pada tahun 2003. Selanjutnya
kelimpahan ferifiton yang meningkat juga dapat mendukung pertumbuhan ikan bilih
di perairan Danau Toba (Kartamihardja dan Sarnita,2008).
Meningkatnya detritus dan zooplanton juga dapat mendukung
pertumbuhan populasi ikan bilih di Danau Toba.
Konsentrasi detritus meningkat di perairan Danau Toba disebabkan
oleh meningkatnya pemakian pakan di
kegiatan budidaya ikan dengan sistem
KJA, limbah pertanian, peternakan, domestik dan hotel di kawasan Danau Toba
(Panjaitan, 2008).
Selanjutnya Kartarnihardja
dan Purnomo (2006) menjelaskan bahwa Kelirnpahan fitoplankton di danau Toba
sebagai makanan ikan bilih mengalami peningkatan dari kisaran 792-7.722 sel/I
pada tahun 1996 (Tjahjoet at., 1996) menjadi 18.1 89-40.514 sel/I pada tahun
2003 (Sarnita dan Kartamihardja, 2003). Dimana, peningkatan kesuburan perairan
terutama sebagai hasil beban masukan unsur hara dari kegiatan budidaya ikan
intensif dalam keramba jaring apung diduga menjadi penyebab meningkatnya
kelimpahan fitoplankton.
Disarnping fitoplankton,
terdapat juga perifiton dimana ke dua kelompok organisme ini akan menjadi sumberdaya
makanan alami bagi ikan bilih. Ke dua kelornpok sumberdaya pakan ini belum dimanfaatkan
secara optimal oleh populasi ikan yang ada karena jenis ikan pemakan plankton yang
hidup di zona limnetik danau hampir tidak ada. Sebelum tahun 1985, jenis ikan
pemakan plankton yang populasinya masih tinggi adalah ikan pora-pora atau
undalap (Puntius binotatus). Namun
setelah itu, keberadaan populasi ikan pora-pora tersebut menurun dan sudah
jarang tertangkap lagi (Kartamihardja, 1987).
Di habitat aslinya danau Singkarak,
makanan utama ikan bilih adalah detritus dan zooplankton sedangkan di danau
Toba makanan utama ikan bilih adalah detritus dan fitoplankton dan makanan
tambahannya adalah zooplankton dan serasah.
Langganan:
Postingan (Atom)