Oleh: Syainullah Wahana
Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar
Informasi dari Data FAO (2008)
menyebutkan bahwa Indonesia menempati peringkat keempat produsen perikanan
dunia setelah Cina, Peru, dan AS. Sayangnya, nilai ekonomis produksi perikanan
kita hanya menempati peringkat kesepuluh dunia. Kalah dibandingkan Vietnam dan
Thailand. Secara teknis keterbatasan infrastruktur, rendahnya aliran investasi,
kurangnya inovasi teknologi, lemahnya SDM, serta banyaknya pencurian ikan oleh
pihak asing menjadi faktor penghambat penyebabnya. Selain itu, kebijakan
ekonomi mikro yang tidak berpihak, gonjang-ganjing politik, lemahnya penegakan
hukum nasional, serta kelembagaan yang tidak kondusif bagi pembangunan
perikanan juga merupakan hambatan struktural. Selama kedua masalah ini belum
dapat dipecahkan, potensi perikanan yang ibarat “raksasa tidur” itu hanya
menjadi “harta karun” yang dimanfaatkan oleh masyarakat asing saja dan bukan dirasakan
oleh masyarakat Indonesia itu sendiri.
Sejarah kelautan dan perikanan selalu
ditandai oleh kecenderuangan prubahan produksi subsisten untuk keperluan
sendiri yang menjadi produksi untuk pasar. Tidak menutup kemungkinan bahwa
akibat struktur pasar yang timpang dan diskriminatif serta anjloknya harga di
pasar komoditi membuat nelayan berorientasi pasar bisa bernasib lebih buruk
ketimbang misalnya petani subsiten karena lebih bergantung pada kondisi alam.
Meski demikian, sebuah strategi pembangunan kelautan dan perikanan
berkelanjutan tidak berarti kembali ke perikanan berorientasi subsisten.
Yang seharusnya dilakukan adalah
memengaruhi proses di mana tiga dimensi masing-masing ketahanan pangan,
pengamanan pendapatan, dan pembangunan berkelanjutan yang dalam penerapannya
seringkali mempunyai tujuan yang saling bertentangan (zeil konflikte) agar bersinergi
satu dengan lainnya. Bagi sektor perikanan secara bertahap harus diadakan
optimalisasi penangkapan ikan sambil menjaga kelestarian laut. Artinya, selain
adanya peningkatan fishing effort (upaya penangkapan) dan intensitas
penangkapan (jumlah nelayan dan jumlah kapal ikan, termasuk pembangunan
galangan kapal ikan), harus pula dilakukan semacam pemetaan daerah mana saja
yang telah overfishing dan mana saja yang belum. Secara umum, yang menghadapi
kesulitan dalam pengamanan pangan adalah para nelayan. Ini juga disebabkan oleh
urban bias dalam kebijakan pemerintah yang lebih menguntungkan atau mengacu
pada kepentingan orang kota. Salah satu faktor penting dalam pembangunan
kelautan dan perikanan berkelanjutan berkaitan dengan terumbu karang dan
mangrove. Dimana, terumbu karang Indonesia yang luasnya 60.000 – 86.000
kilometer persegi adalah sama dengan luas seperdelapan luas terumbu karang
dunia. Bukti hasil penelitian 2001 oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan
mencatat setidaknya 70 persen terumbu karang di Indonesia dalam keadaan rusak
parah. Akibatnya, Indonesia menderita kerugian sekitar dua juta ton ikan per
tahun. Kerugian juga dirasakan oleh nelayan tradisional yang umumnya tidak
melaut melebihi 12 mil dari tepi pantai.
Suatu masalah yang miris juga terjadi
di kawasan pagar nusantara kita yaitu dimana, Indonesia memiliki Hutan Mangrove
yang sangat luas dan kini mungkin telah banyak ekosistemnya terdegradasi akibat
penebangan dan konversi lahan mangrove menjadi tambak-tambak intensif dimana dalam
waktu yang lama dipertanyakan produktifitas tambaknya. Bahkan hutan Mangrove di
anggap sarang nyamuk dan hanya berguna sebagai kayu bakar. Padahal, akar-akar
napas mangrove dapat menstabilkan pantai dengan menangkap berbagai bahan baik
dari darat maupun dari laut. Sehingga menjadi ekosistem yang sangat subur.
Pembangunan perikanan berkelanjutan
mensyaratkan pembalikan resep-resep standar selama ini, baik itu berupa
kebijakan modernisasi lewat program “Revolusi Biru” yang dicanangkan pemerintah
saat ini maupun usulan alternatif seperti cara berproduksi subsisten, kebijakan
swasembada pangan, serta kampanye antiekspor. Selain itu juga perlu
optimalisasi penyesuaian pada ekologi (lokal) serta persyaratan ekonomi dan
sosial. Dalam kaitannya dengan pengentasan kemiskinan di daerah pedesaan, yang
lebih penting adalah penghasilan yang diperoleh nelayan serta kestabilan dan distribusi
produknya dibandingkan apa jenis produk yang dihasilkan. Dikaitkan dengan
lemahnya ekonomi dan kehidupan rumah tangga nelayan, persiapan ke depan harus
mencakup upaya memberdayakan nelayan. Ada paradigma yang sengaja dibangun pada
masa lalu yang mengatakan, amat sulit bahkan tidak mungkin nelayan bebas
kemiskinan karena kulturnya tidak mendukung. Kenyataan di mancanegara menunjukkan
banyak contoh yang merupakan pembalikan paradigma tersebut. Tentu saja, dalam
kondisi saat ini dibutuhkan program pemihakan sehingga gap antara nelayan kecil
dan para bandar ikan serta pengusaha bisa diperkecil. Perikanan berkelanjutan
sangat bergantung pada pembangunan struktur perdesaan, terutama desa pesisir,
yang terintegrasi secara regional dan nasional. Dalam kaitan ini beberapa
bidang berikut berperan menentukan. Ada beberapa hal yang menentukan
keberhasilan pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Pertama, struktur
pemilikan dan penghasilan yang berperan dalam distribusian pendapatan. Kedua,
struktur kelembagaan yang mengemankan dan boleh pemerataan yang menguntungkan
nelayan tradisional bermodal kecil seperti pemasaran dan akses kredit,
konseling perikanan, dan peningkatan posisi tawar secara politis. Ketiga,
infrastruktur material dan sosial seperti pendidikan, kesehatan transportasi
dan komunikasi. Terakhir, perbaikan struktur ekonomi terutama dengan bidang
perikanan serta ketersediaan lapangan kerja di luar sektor perikanan. Sektor
kelautan tidak boleh hanya dipandang dari sudut hubungan antara nelayan dan laut,
tetapi dalam keterkaitan struktural pembangunan pedesaan yang tentu saja juga
tergantung pada perkembangan nasional maupun global (Hadar, 2013). Untuk itu, penghasilan nelayan harus
menjadi ukuran situasi ekonomi penduduk perdesaan. Selain itu, pemberlakuan
kebijakan perikanan berkelanjutan mensyaratkan transformasi sosio-kultural
berupa pengembangan kearifan lokal atau tradisional, pembaruan pemahaman
tentang pembangunan, serta penilaian baru tentang kondisi dan persyaratan
katahanan alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar