Pidato Bapak Prof Ahsin Rifai, sebagai Guru Besar di Bidang Ilmu Budidaya Laut pada Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Lambung Mangkurat
Alhamdulillaahirabbil'alamiin,
washshalaatu wassalaamu 'ala na-biyina Muhammadin wa'ala alihi wa-ashshabihi
ajma'iin. Pertama-tama marilah kita mengucapkan puji
dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karuniaNya sehingga kita
dapat berhadir pada upacara rapat terbuka Senat Universitas Lambung Mangkurat
dalam rangka pidato dan pengukuhan saya sebagai Guru Besar di Bidang Ilmu
Budidaya Laut pada Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Lambung
Mangkurat. Sholawat dan salam tak lupa saya haturkan kepada junjungan kita Nabi
Besar Muhammad SAW, nabi akhir jaman, pembawa risalah kebanaran. Juga kepada para
keluarga dan sahabatnya, para pengikutnya dari dulu sekarang hingga akhir
jaman. Penghargaan dan apresiasi yang tinggi saya haturkan pula kepada Bapak
dan Ibu serta hadirin sekalian telah berkenan hadir melowongkan waktu yang
sangat berharga untuk menghadiri acara pengukuhan ini. Semoga Allah memberikan
pahala yang berlipat ganda. Amin YRA.
Berbagai pertimbangan yang
melatar-belakangi terpilihnya judul ini adalah sebagai berikut:
Pertama, Kementerian Riset, Teknologi
dan Pendidikan Tinggi mengangkat saya sebagai Guru Besar dalam bidang ilmu
budidaya laut yang diharapkan dapat memberi kontribusi pemikiran terhadap
pengembangan dan pembangunan sektor budidaya laut di Indonesia.
Kedua, latar belakang pendidikan saya
mulai strata S1, S2, dan S3 adalah dalam bidang budidaya laut. Sudah sewajarnya
saya memberikan pemikiran-pemikiran terkait dengan teknologi budidaya laut
(marikultur) yang inovatif dan bersifat
solutif.
Ketiga,
pekerjaan saya sebagai salah satu dosen di Fakultas Perikanan dan Kelautan Unlam, selama
25 tahun dan 9 tahun terakhir ber home
base di Program Studi Ilmu Kelautan berkewajiban untuk terus meningkat
kompetensi diri sehingga mampu mewujudkan misi tri dharma perguruan tinggi
yaitu bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat yang bermutu.
Keempat, Firman Allah dalam Surah
An-Nahl ayat 14: “Dan dialah
Allah SWT, yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan dari
padanya daging yang segar (ikan) dan kamu mengeluarkan dari lautan itu
perhiasan yang kamu pakai dan kamu melihat bahtera berlayar kepada-Nya dan
supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur”.
Firman ini sangat jelas menyuruh manusia memanfaatkan segala potensi yang di
ada laut dengan mengelola dengan secara baik dan benar.
Hadirin
yang Saya Hormati,
Pendahuluan
Anemon laut merupakan
salah satu jenis karang dari filum Cnidaria. Karang
dan anemon laut adalah anggota taksonomi kelas yang sama yaitu Anthozoa. Perbedaannya adalah karang
mengha-silkan kerangka luar dari kalsium karbonat, sedangkan anemon tidak
(Nybakken, 1992). Menurut Fautin and Allen (1997), anemon laut adalah binatang
invertebrata atau binatang yang tidak
memiliki tulang belakang.
Anemon laut, selain
memiliki nilai ekonomis juga memiliki nilai ekologis. Anemon laut merupakan
inang berbagai anemonfishes (Fautin
and Allen 1997; Richardson 1999; Astakhov 2002; Randall and Fautin 2002; dan
Shimek 2006). Tidak kurang 51 spesies ikan melakukan simbiosis fakultatif
dengan anemon laut, khususnya di perairan tropis (Arvedlund et al.,
2006). Selanjutnya menurut Allen (1974), anemon menjadi tempat hidup bersama
bagi 26 jenis ikan hias Amphiprion
termasuk 1 jenis Premas biaculeatus. Anemon laut dan ikan Amphiprion akan hidup dan tumbuh dengan baik apabila hidup
bersama-sama, tetapi apabila hidup sendiri-sendiri tanpa simbiosis mutualisme
maka salah satu atau keduanya akan terganggu pertumbuhan dan kelangsungan
hidupnya (Allen, 1975 dan Randall et.al.,
1990).
Selain anemonfishes, pada sel-sel endodermis
anemon laut melimpah pula sel-sel alga zooxanthellae sebagai simbion intra-selluler
(Rinkevick 1989; Muscatine and Wels 1992; dan Fautin and Allen 1997). Densitas
zooxanthellae anemon laut Stichodactyla gigantea mencapai 11,46 x 106
sel/cm2 (Niartiningsih 2001). Kehadiran alga zooxanthellae ini telah memberikan andil
yang besar dalam sistem daur energi anemon, lingkungannya, dan biota lainnya
yang berasosiasi. Hasil penelitian menunjukkan interaksi
antara alga zooxanthellae sebagai simbion dengan inangnya bersifat mutualisme,
yaitu hubungan yang saling menguntungkan antara keduanya. Menurut Taylor
(1969), inang memberikan perlindungan, beberapa metabolisme seperti karbon
dioksida, dan beberapa nutrisi kepada alga. Alga memanfaatkan produk-produk
ekskresi inang seperti fosfor esensial, sulfur, senyawa nitrogen dari inangnya
(McLaughlin et al., 1964). Alga zooxanthellae yang hidup bersimbiosis dengan anemon
memiliki kemampuan untuk melakukan aktifitas fotosintesis dan menghasilkan
nutrisi karbon yang selanjutnya disumbangkan ke inang dan lingkungan perairan
di sekitarnya (Taylor 1969 dan Muscatine
et al., 1981). Translokasi
karbon merupakan sumber energi utama untuk inang (Streamer et al., 1993)
dan selanjutnya digunakan untuk membentuk glukosa, gliserol, asam amino dan
kemungkinan lemak (Muscatine 1967; Muscatine et al., 1984; Sutton and
Hoegh-Guldberg 1990). Alga
zooxanthellae inilah yang diduga memberikan kontribusi terhadap fitness inang-inangnya dan produktivitas
primer terhadap komunitas di sekitarnya. Dengan demikian sangat jelas bahwa
kehadiran alga zooxanthellae yang hidup bersimbiosis pada anemon laut dan
karang sangat penting mengingat kondisi lingkungan perairan laut miskin
nutrient.
Perkembangan jumlah
penduduk yang sangat cepat serta berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi
menyebabkan pemanfaatan anemon laut terus meningkat terutama untuk memenuhi
permintaan pasar ikan hias domestik dan ekspor. Sebagai contoh, di Sulawesi
Selatan menurut Balai Besar Karantina Ikan Sulawesi Selatan, data lalu lintas
domestik dan ekspor anemon laut pada tahun 2002 hanya mencapai 49.655 ekor dan
pada tahun 2006 telah terjadi peningkatan yang sangat signifikan hingga
mencapai 84.534 ekor. Kondisi serupa diduga terjadi pula di beberapa propinsi
lainnya di Indonesia seperti Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.
Hingga saat ini
eksploitasi anemon masih mengandalkan usaha penangkapan di alam dan belum ada
hasil usaha budidaya. Jika kondisi ini dibiarkan maka suatu saat populasi akan terancam
punah. Oleh karena itu, untuk
mendapatkan pemanfaatan yang berkelanjutan, kelestarian sumberdaya anemon perlu
dijaga dan dipertahankan melalui suatu kebijaksanaan pengelolaan yang tepat,
diantaranya melalui upaya restocking
dan marikultur. Upaya tersebut tentunya
membutuhkan benih-benih anemon dalam jumlah besar dan berkualitas yang bersumber
dari hasil teknologi pembenihan dan bukan dari hasil penangkapan di alam.
Anemon hidup di dasar
laut menempel pada benda keras, pecahan karang, dan pasir. Ada pula yang
sedikit membenamkan bagian tubuhnya ke dalam dasar tanah yang agak berlumpur.
Umumnya anemon dijumpai pada daerah terumbu karang yang kurang subur dan
dangkal, di goa atau di lereng terumbu. Namun ada juga yang hidup di tepian
padang lamun (Dunn, 1981; Nuracmad dan Sumadiyo, 1992; Nurachmad, 1993).
Menurut Fautin and Allen (1997), anemon laut hidup menempel pada objek-objek
keras, umumnya seperti dasar laut atau tertutup sedimen. Anemon laut hidup
melekat pada objek-objek yang keras di perairan laut, biasanya di dasar
perairan, bebatuan, atau terumbu karang. Verwey (1930) dan Dunn (1981)
mengemukakan bahwa, habitat anemon jenis
Stichodactyla gigantea adalah
di daerah tenang dan berpasir seperti laguna-laguna karang dan tepian padang
lamun.
Berdasarkan uraian di atas, maka anemon laut
bukanlah pesaing hewan karang karena space
hidupnya berbeda dengan hewan karang. Anemon laut tidak tumbuh pada
karang-karang hidup melainkan hidup pada karang-karang mati atau pada substrat
keras di dasar peraian. Habitat tumbuh anemon ini menjadi kajian yang sangat
menarik untuk dikembangkan menjadi biota marikultur yang mampu memanfaatkan
kawasan-kawasan terumbu karang yang telah mengalami kerusakan dan cenderung
meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
melalui Pusat Penelitian Oseanografi hingga tahun 2015, status terumbu karang di Indonesia hanya
5% sangat baik, 27,01% baik, 37,97% buruk, dan 30,02% jelek (Suharsono, 2015). Berdasarkan
data tersebut hanya 32,01% terumbu karang yang kondisi baik dan sangat baik.
Sisanya 67,99% telah mengalami kerusakan dengan kategori buruk hingga jelek.
Dengan demikian, jika luasan terumbu karang di Indonesia sekitar 60.000 km2
maka hamparan atau kawasan terumbu karang yang rusak atau mengalami kematian
mencapai 40.794 km2 (Suharsono,
1998). Kawasan ini menjadi kawasan mati, miskin
nutrient, miskin kehadiran biota-biota asosiasi, tidak produktif dan akan
menjadi kawasan “terlantar”.
Upaya perbaikan terhadap kawasan terumbu karang yang
mengalami kerusakan ini telah dilakukan oleh pemerintah melalui kegiatan replanting
dan terumbu karang buatan. Namun upaya ini membutuhkan waktu yang relative lama
karena pertumbuhan karang sangat lambat. Untuk karang massive pertumbuhannya hanya 0,5-2 cm per tahun, sedangkan karang acropora pertumbuhannya mencapai 3-5 cm
per tahun. Oleh karena itu perlu ada upaya lain agar kawasan terumbu karang non
produktif ini dapat menjadi produktif bersamaan dengan upaya rehabitasi terumbu
karang. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan taman
anemon laut pada kawasan terumbu karang non produktif. Kehadiran anemon laut
memiliki beberapa keuntungan: (1) mengisi space kawasan terumbu karang mati dan
tidak produktif, (2) mengundang kehadiran ikan-ikan asosiasi terutama kelompok
ikan amphiprion yang memiliki nilai ekonomis tinggi, (3) meningkatkan
produktivitas primer perairan dengan tingginya simbion alga zooxanthellae yang
hidup pada polip anemon, (4) anemon laut sendiri merupakan biota yang bernilai
eknomis tinggi karena harganya di pasaran nasional dan internasional sangat
tinggi. Teknologi taman anemon ini diharapkan dapat menjadi aktivitas
marikultur baru di kawasan pesisir berbasis perbaikan ekosistem terumbu karang.
Teknologi ini diharapkan pula dapat menjadi model pemberdayaan masyarakat
pesisir untuk penguatan ekonomi nasional.
Taman Anemon Laut
Taman anemon laut (Sea Anemones Garden) merupakan istilah
baru dalam teknologi marikultur di Indonesia bahkan di dunia. Taman anemon
adalah sebuah teknologi marikultur yang dikembangkan oleh penulis sebagai hasil
dari serangkaian penelitian yang panjang selama 18 tahun mulai 1998 sampai
sekarang (2016). Hasil telusur paten di laman Ditjen HKI-KemenkumHAM RI (www.dgip.go.id),
Kantor Paten dan Merek Amerika Serikat (www.uspto.gov),
Kantor Paten Jepang (www.jpo.go.jp),
Kantor Paten Eropa (http://ep.espa cenet.com),
dan World Intellectual Property Organization WIPO) yang menyediakan database
paten dengan nama Patent Scope® (www.wipo.int/pctdb/en)
belum menemukan paten secara khusus mengklaim tentang teknologi taman anemon
laut sebagai teknologi marikultur di kawasan terumbu karang. Namun demikian
beberapa paten terkait dengan anemon dapat ditemukan pada laman https://www.google.co.id/patents/CN102550452B?cl=en&dq=artificial+asexual+reproduction+of+sea+anemone&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjj8M9uorQAhVKPY8KHd8HAbkQ6AEIMzAD
yang mematenkan metode budidaya induk anemon dengan nomor CN 102550452 B yang dipubilkasikan pada 11 September 2013.
Paten ini meliputi pengumpulan induk yang sehat, kuat, tidak ada kerusakan,
tentakel lengkap, kaki anemon utuh, penempatan induk dalam sistem budidaya
hingga matang telur, ejakulasi, penetasatan, pengumpulan, dan pemindahan benih
ke kolam benih. Selanjutnya berdasarkan laman https://www.google.co.id/patents/EP2229050A2?cl=en&dq=
artificial+asexual+reproduction+of+sea+anemone&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjCzrKWwIrQAhXFp48KHU7RDg8Q6AEISjAG ditemukan paten komposisi terbaru untuk
mengendalikan penyakit anemon laut dengan nomor EP 2229050 A2 yang
dipublikasikan pada 22 September 2010. Paten ini berkaitan dengan komposisi
yang ditingkatkan untuk mengendalikan penyakit anemon laut. Paten
lainnya berhubungan dengan alat untuk mengumpulkan sampel anemon laut hidup
dengan nomor paten CN 203985660 U dan dipublikasikan 10 Desember 2014
pada laman https://www.google.
co.id/patents/CN203985-660U?cl=en&dq=sea+anemones&hl=en&sa
=X&sqi=2&pjf=1&ved=0ahUKEwjE-revy4vQAhXFgI8KHQ7nCsQQ6 AEINDAD. Paten ini berhubungan dengan alat pengumpulan
untuk sampel anemon laut hidup. Alat pengumpul terdiri dari batang penghubung,
pegangan dan pisau sekop, dimana pegangan vertikal terhubung dengan batang
penghubung; pegangan dan batang penghubung dalam bentuk T; pisau sekop diatur
di ujung lain dari batang penghubung.
Paten lainnya adalah berhubungan makanan anemon laut instant dan metode
pengolahan serta derivatnya dengan nomor paten CN 102948815 B yang
dipublikasikan 23 April 2014 pada laman https://www.google.co.id/patents/CN102948815B?cl=
en&dq=sea+anemones&hl=en&sa=X&sqi=2&pjf=1&ved=0ahUKEwjE-revy4vQA-hXFgI8KHQ7nCsQQ6AEIRjAF.
Selanjutnya ditemukan pula paten metode dan campuran pembunuh anemon untuk akuarium dengan nomor US 7179478 B2 yang dipublikasikan 20 Februari 2007 pada laman https:// www.google.co.id/patents/US7179478?dq=sea+ anemones&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiM7--9zYvQAhWMRI8KHU b1BJI4ChDoAQg9MAQ.
Selanjutnya ditemukan pula paten metode dan campuran pembunuh anemon untuk akuarium dengan nomor US 7179478 B2 yang dipublikasikan 20 Februari 2007 pada laman https:// www.google.co.id/patents/US7179478?dq=sea+ anemones&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiM7--9zYvQAhWMRI8KHU b1BJI4ChDoAQg9MAQ.
Taman anemon
laut adalah suatu teknologi marikultur atau budidaya laut yang menggunakan
biota anemon laut untuk dipelihara dalam sebuah hamparan atau kawasan terumbu
karang. Prinsip dasar marikultur berkelanjutan adalah dalam proses kultur
sebaiknya tidak menggunakan benih alami karena akan berdampak terhadap
kelestarian. Prinsip lainnya adalah menggunakan areal kultur yang tidak
berkonflik, murah, dan sesuai dengan habitat tumbuh yang dihajatkan biota yang
dikultur. Memperhatikan prinsip dasar ini maka untuk mengembangkan teknologi
marikultur anemon harus memiliki sumber benih dari hasil penangkaran bukan dari
hasil penangkapan di alam. Oleh karena itu pengembangan penangkaran benih
anemon menjadi sangat penting. Penelitian tentang produksi benih anemon laut di
Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1998 sampai sekarang. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa beberapa jenis anemon laut dapat diproduksi dengan teknik
reproduksi asesksual secara artifisial (Gambar 1). Hasil penelitian menunjukkan
sintasan benih hasil teknologi mencapai 100% dan pertumbuhan 70 - 127% selama
60 hari kultur dengan syarat-syarat dan prosedur kultur tertentu (Rifa’i dan
Kudsiah, 1997; Rifa’i dkk., 2008; Rifa’i,
2011; Rifa’i, 2012; Rifai dkk., 2013a;
Rifai dkk., 2013b; Rifai dkk., 2014; Rifai dkk., 2015; Rifa’i, 2016; dan Rifa’i et al., 2016). Teknologi
produksi benih anemon ini pada tahun 2016 telah diajukan patennya ke Ditjen
HKI-Kemenkum HAM RI dengan judul “Reproduksi Aseksual Anemon Laut secara
Artifisial untuk Produksi Benih”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar