SELAMAT DATANG DI BLOGGER "SYAINULLAH WAHANA" SEMOGA BERMANFAAT ---(TERIMA KASIH)---

Selasa, 14 Maret 2017

TAMAN ANEMON LAUT TEKNOLOGI MARIKULTUR BERBASIS EKOSISTEM



Pidato Bapak Prof Ahsin Rifai, sebagai Guru Besar di Bidang Ilmu Budidaya Laut pada Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Lambung Mangkurat 


Alhamdulillaahirabbil'alamiin, washshalaatu wassalaamu 'ala na-biyina Muhammadin wa'ala alihi wa-ashshabihi ajma'iin. Pertama-tama marilah kita mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karuniaNya sehingga kita dapat berhadir pada upacara rapat terbuka Senat Universitas Lambung Mangkurat dalam rangka pidato dan pengukuhan saya sebagai Guru Besar di Bidang Ilmu Budidaya Laut pada Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Lambung Mangkurat. Sholawat dan salam tak lupa saya haturkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, nabi akhir jaman, pembawa risalah kebanaran. Juga kepada para keluarga dan sahabatnya, para pengikutnya dari dulu sekarang hingga akhir jaman. Penghargaan dan apresiasi yang tinggi saya haturkan pula kepada Bapak dan Ibu serta hadirin sekalian telah berkenan hadir melowongkan waktu yang sangat berharga untuk menghadiri acara pengukuhan ini. Semoga Allah memberikan pahala yang berlipat ganda. Amin YRA.


Berbagai pertimbangan yang melatar-belakangi terpilihnya judul ini adalah sebagai berikut:
        Pertama, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi mengangkat saya sebagai Guru Besar dalam bidang ilmu budidaya laut yang diharapkan dapat memberi kontribusi pemikiran terhadap pengembangan dan pembangunan sektor budidaya laut di Indonesia.
        Kedua, latar belakang pendidikan saya mulai strata S1, S2, dan S3 adalah dalam bidang budidaya laut. Sudah sewajarnya saya memberikan pemikiran-pemikiran terkait dengan teknologi budidaya laut (marikultur)  yang inovatif dan bersifat solutif.
        Ketiga, pekerjaan saya sebagai salah satu dosen di Fakultas Perikanan dan Kelautan Unlam, selama 25 tahun dan 9 tahun terakhir ber home base di Program Studi Ilmu Kelautan berkewajiban untuk terus meningkat kompetensi diri sehingga mampu mewujudkan misi tri dharma perguruan tinggi yaitu bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat yang bermutu.
Keempat, Firman Allah dalam Surah An-Nahl ayat 14: “Dan dialah Allah SWT, yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan dari padanya daging yang segar (ikan) dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai dan kamu melihat bahtera berlayar kepada-Nya dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur”. Firman ini sangat jelas menyuruh manusia memanfaatkan segala potensi yang di ada laut dengan mengelola dengan secara baik dan benar.  

Hadirin yang Saya Hormati,


Pendahuluan

Anemon laut merupakan salah satu jenis karang dari filum Cnidaria.  Karang dan anemon laut adalah anggota taksonomi kelas yang sama yaitu Anthozoa. Perbedaannya adalah karang mengha-silkan kerangka luar dari kalsium karbonat, sedangkan anemon tidak (Nybakken, 1992). Menurut Fautin and Allen (1997), anemon laut adalah binatang invertebrata atau binatang  yang  tidak  memiliki  tulang  belakang.   

Anemon laut, selain memiliki nilai ekonomis juga memiliki nilai ekologis. Anemon laut merupakan inang berbagai anemonfishes (Fautin and Allen 1997; Richardson 1999; Astakhov 2002; Randall and Fautin 2002; dan Shimek 2006). Tidak kurang 51 spesies ikan melakukan simbiosis fakultatif dengan anemon laut, khususnya di perairan tropis (Arvedlund et al., 2006). Selanjutnya menurut Allen (1974), anemon menjadi tempat hidup bersama bagi 26 jenis ikan hias Amphiprion termasuk 1 jenis Premas biaculeatus.  Anemon laut dan ikan Amphiprion akan hidup dan tumbuh dengan baik apabila hidup bersama-sama, tetapi apabila hidup sendiri-sendiri tanpa simbiosis mutualisme maka salah satu atau keduanya akan terganggu pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya (Allen, 1975 dan Randall et.al., 1990).  

Selain anemonfishes, pada sel-sel endodermis anemon laut melimpah pula sel-sel alga zooxanthellae sebagai simbion intra-selluler (Rinkevick 1989; Muscatine and Wels 1992; dan Fautin and Allen 1997). Densitas zooxanthellae anemon laut Stichodactyla gigantea mencapai 11,46 x 106 sel/cm2 (Niartiningsih 2001). Kehadiran alga zooxanthellae ini telah memberikan andil yang besar dalam sistem daur energi anemon, lingkungannya, dan biota lainnya yang berasosiasi. Hasil penelitian menunjukkan interaksi antara alga zooxanthellae sebagai simbion dengan inangnya bersifat mutualisme, yaitu hubungan yang saling menguntungkan antara keduanya. Menurut Taylor (1969), inang memberikan perlindungan, beberapa metabolisme seperti karbon dioksida, dan beberapa nutrisi kepada alga. Alga memanfaatkan produk-produk ekskresi inang seperti fosfor esensial, sulfur, senyawa nitrogen dari inangnya (McLaughlin et al., 1964). Alga zooxanthellae yang hidup bersimbiosis dengan anemon memiliki kemampuan untuk melakukan aktifitas fotosintesis dan menghasilkan nutrisi karbon yang selanjutnya disumbangkan ke inang dan lingkungan perairan di sekitarnya (Taylor 1969 dan Muscatine et al., 1981). Translokasi karbon merupakan sumber energi utama untuk inang (Streamer et al., 1993) dan selanjutnya digunakan untuk membentuk glukosa, gliserol, asam amino dan kemungkinan lemak (Muscatine 1967; Muscatine et al., 1984; Sutton and Hoegh-Guldberg 1990). Alga zooxanthellae inilah yang diduga memberikan kontribusi terhadap fitness inang-inangnya dan produktivitas primer terhadap komunitas di sekitarnya. Dengan demikian sangat jelas bahwa kehadiran alga zooxanthellae yang hidup bersimbiosis pada anemon laut dan karang sangat penting mengingat kondisi lingkungan perairan laut miskin nutrient.    

Perkembangan jumlah penduduk yang sangat cepat serta berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan pemanfaatan anemon laut terus meningkat terutama untuk memenuhi permintaan pasar ikan hias domestik dan ekspor. Sebagai contoh, di Sulawesi Selatan menurut Balai Besar Karantina Ikan Sulawesi Selatan, data lalu lintas domestik dan ekspor anemon laut pada tahun 2002 hanya mencapai 49.655 ekor dan pada tahun 2006 telah terjadi peningkatan yang sangat signifikan hingga mencapai 84.534 ekor. Kondisi serupa diduga terjadi pula di beberapa propinsi lainnya di Indonesia seperti Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. 

Hingga saat ini eksploitasi anemon masih mengandalkan usaha penangkapan di alam dan belum ada hasil usaha budidaya. Jika kondisi ini dibiarkan maka suatu saat populasi akan terancam punah.  Oleh karena itu, untuk mendapatkan pemanfaatan yang berkelanjutan, kelestarian sumberdaya anemon perlu dijaga dan dipertahankan melalui suatu kebijaksanaan pengelolaan yang tepat, diantaranya melalui upaya restocking dan marikultur.  Upaya tersebut tentunya membutuhkan benih-benih anemon dalam jumlah besar dan berkualitas yang bersumber dari hasil teknologi pembenihan dan bukan dari hasil penangkapan di alam. 

Anemon hidup di dasar laut menempel pada benda keras, pecahan karang, dan pasir. Ada pula yang sedikit membenamkan bagian tubuhnya ke dalam dasar tanah yang agak berlumpur. Umumnya anemon dijumpai pada daerah terumbu karang yang kurang subur dan dangkal, di goa atau di lereng terumbu. Namun ada juga yang hidup di tepian padang lamun (Dunn, 1981; Nuracmad dan Sumadiyo, 1992; Nurachmad, 1993). Menurut Fautin and Allen (1997), anemon laut hidup menempel pada objek-objek keras, umumnya seperti dasar laut atau tertutup sedimen. Anemon laut hidup melekat pada objek-objek yang keras di perairan laut, biasanya di dasar perairan, bebatuan, atau terumbu karang. Verwey (1930) dan Dunn (1981) mengemukakan bahwa, habitat anemon jenis  Stichodactyla gigantea adalah di daerah tenang dan berpasir seperti laguna-laguna karang dan tepian padang lamun.  

Berdasarkan uraian di atas, maka anemon laut bukanlah pesaing hewan karang karena space hidupnya berbeda dengan hewan karang. Anemon laut tidak tumbuh pada karang-karang hidup melainkan hidup pada karang-karang mati atau pada substrat keras di dasar peraian. Habitat tumbuh anemon ini menjadi kajian yang sangat menarik untuk dikembangkan menjadi biota marikultur yang mampu memanfaatkan kawasan-kawasan terumbu karang yang telah mengalami kerusakan dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Pusat Penelitian Oseanografi hingga tahun 2015, status terumbu karang di Indonesia hanya 5% sangat baik, 27,01% baik, 37,97% buruk, dan 30,02% jelek (Suharsono, 2015). Berdasarkan data tersebut hanya 32,01% terumbu karang yang kondisi baik dan sangat baik. Sisanya 67,99% telah mengalami kerusakan dengan kategori buruk hingga jelek. Dengan demikian, jika luasan terumbu karang di Indonesia sekitar 60.000 km2 maka hamparan atau kawasan terumbu karang yang rusak atau mengalami kematian mencapai 40.794 km2 (Suharsono, 1998). Kawasan ini menjadi kawasan mati, miskin nutrient, miskin kehadiran biota-biota asosiasi, tidak produktif dan akan menjadi kawasan “terlantar”. 

Upaya perbaikan terhadap kawasan terumbu karang yang mengalami kerusakan ini telah dilakukan oleh pemerintah melalui kegiatan  replanting dan terumbu karang buatan. Namun upaya ini membutuhkan waktu yang relative lama karena pertumbuhan karang sangat lambat. Untuk karang massive pertumbuhannya hanya 0,5-2 cm per tahun, sedangkan karang acropora pertumbuhannya mencapai 3-5 cm per tahun. Oleh karena itu perlu ada upaya lain agar kawasan terumbu karang non produktif ini dapat menjadi produktif bersamaan dengan upaya rehabitasi terumbu karang. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan taman anemon laut pada kawasan terumbu karang non produktif. Kehadiran anemon laut memiliki beberapa keuntungan: (1) mengisi space kawasan terumbu karang mati dan tidak produktif, (2) mengundang kehadiran ikan-ikan asosiasi terutama kelompok ikan amphiprion yang memiliki nilai ekonomis tinggi, (3) meningkatkan produktivitas primer perairan dengan tingginya simbion alga zooxanthellae yang hidup pada polip anemon, (4) anemon laut sendiri merupakan biota yang bernilai eknomis tinggi karena harganya di pasaran nasional dan internasional sangat tinggi. Teknologi taman anemon ini diharapkan dapat menjadi aktivitas marikultur baru di kawasan pesisir berbasis perbaikan ekosistem terumbu karang. Teknologi ini diharapkan pula dapat menjadi model pemberdayaan masyarakat pesisir untuk penguatan ekonomi nasional.


Taman Anemon Laut 

Taman anemon laut (Sea Anemones Garden) merupakan istilah baru dalam teknologi marikultur di Indonesia bahkan di dunia. Taman anemon adalah sebuah teknologi marikultur yang dikembangkan oleh penulis sebagai hasil dari serangkaian penelitian yang panjang selama 18 tahun mulai 1998 sampai sekarang (2016). Hasil telusur paten di laman Ditjen HKI-KemenkumHAM RI (www.dgip.go.id), Kantor Paten dan Merek Amerika Serikat (www.uspto.gov), Kantor Paten Jepang (www.jpo.go.jp), Kantor Paten Eropa (http://ep.espa cenet.com), dan World Intellectual Property Organization WIPO) yang menyediakan database paten dengan nama Patent Scope® (www.wipo.int/pctdb/en) belum menemukan paten secara khusus mengklaim tentang teknologi taman anemon laut sebagai teknologi marikultur di kawasan terumbu karang. Namun demikian beberapa paten terkait dengan anemon dapat ditemukan pada laman  https://www.google.co.id/patents/CN102550452B?cl=en&dq=artificial+asexual+reproduction+of+sea+anemone&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjj8M9uorQAhVKPY8KHd8HAbkQ6AEIMzAD yang mematenkan metode budidaya induk anemon dengan nomor CN 102550452 B yang dipubilkasikan pada 11 September 2013. Paten ini meliputi pengumpulan induk yang sehat, kuat, tidak ada kerusakan, tentakel lengkap, kaki anemon utuh, penempatan induk dalam sistem budidaya hingga matang telur, ejakulasi, penetasatan, pengumpulan, dan pemindahan benih ke kolam benih. Selanjutnya berdasarkan laman https://www.google.co.id/patents/EP2229050A2?cl=en&dq= artificial+asexual+reproduction+of+sea+anemone&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjCzrKWwIrQAhXFp48KHU7RDg8Q6AEISjAG ditemukan paten komposisi terbaru untuk mengendalikan penyakit anemon laut dengan nomor EP 2229050 A2 yang dipublikasikan pada 22 September 2010. Paten ini berkaitan dengan komposisi yang ditingkatkan untuk mengendalikan penyakit anemon laut. Paten lainnya berhubungan dengan alat untuk mengumpulkan sampel anemon laut hidup dengan nomor paten CN 203985660 U dan dipublikasikan 10 Desember 2014 pada laman https://www.google. co.id/patents/CN203985-660U?cl=en&dq=sea+anemones&hl=en&sa =X&sqi=2&pjf=1&ved=0ahUKEwjE-revy4vQAhXFgI8KHQ7nCsQQ6 AEINDAD. Paten ini berhubungan dengan alat pengumpulan untuk sampel anemon laut hidup. Alat pengumpul terdiri dari batang penghubung, pegangan dan pisau sekop, dimana pegangan vertikal terhubung dengan batang penghubung; pegangan dan batang penghubung dalam bentuk T; pisau sekop diatur di ujung lain dari batang penghubung.  Paten lainnya adalah berhubungan makanan anemon laut instant dan metode pengolahan serta derivatnya dengan nomor paten CN 102948815 B yang dipublikasikan 23 April 2014 pada laman https://www.google.co.id/patents/CN102948815B?cl= en&dq=sea+anemones&hl=en&sa=X&sqi=2&pjf=1&ved=0ahUKEwjE-revy4vQA-hXFgI8KHQ7nCsQQ6AEIRjAF

Selanjutnya ditemukan pula paten metode dan campuran pembunuh anemon untuk akuarium dengan nomor US 7179478 B2 yang dipublikasikan 20 Februari 2007 pada laman https:// www.google.co.id/patents/US7179478?dq=sea+ anemones&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiM7--9zYvQAhWMRI8KHU b1BJI4ChDoAQg9MAQ

Taman anemon laut adalah suatu teknologi marikultur atau budidaya laut yang menggunakan biota anemon laut untuk dipelihara dalam sebuah hamparan atau kawasan terumbu karang. Prinsip dasar marikultur berkelanjutan adalah dalam proses kultur sebaiknya tidak menggunakan benih alami karena akan berdampak terhadap kelestarian. Prinsip lainnya adalah menggunakan areal kultur yang tidak berkonflik, murah, dan sesuai dengan habitat tumbuh yang dihajatkan biota yang dikultur. Memperhatikan prinsip dasar ini maka untuk mengembangkan teknologi marikultur anemon harus memiliki sumber benih dari hasil penangkaran bukan dari hasil penangkapan di alam. Oleh karena itu pengembangan penangkaran benih anemon menjadi sangat penting. Penelitian tentang produksi benih anemon laut di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1998 sampai sekarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa jenis anemon laut dapat diproduksi dengan teknik reproduksi asesksual secara artifisial (Gambar 1). Hasil penelitian menunjukkan sintasan benih hasil teknologi mencapai 100% dan pertumbuhan 70 - 127% selama 60 hari kultur dengan syarat-syarat dan prosedur kultur tertentu (Rifa’i dan Kudsiah, 1997; Rifa’i dkk., 2008; Rifa’i, 2011; Rifa’i, 2012; Rifai dkk., 2013a; Rifai dkk., 2013b; Rifai dkk., 2014; Rifai dkk., 2015; Rifa’i, 2016; dan Rifa’i et al., 2016). Teknologi produksi benih anemon ini pada tahun 2016 telah diajukan patennya ke Ditjen HKI-Kemenkum HAM RI dengan judul “Reproduksi Aseksual Anemon Laut secara Artifisial untuk Produksi Benih”.
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar