PENGHAPUSAN IZIN LINGKUNGAN DALAM UU CK LEBIH MEMPERKUAT PERLINDUNGAN LINGKUNGAN HIDUP.
Apakah Betul?
Masih harus ada pengkajian dalam hal ini pemerintah daerah serta tokoh lingkungan kita dapat angkat bicara agar pemahaman terciptanya UU CK yg betul-betul berjalan dengan baik, mengenai bagaimana keterkaitan antara 'izin lingkungan' dengan 'izin berusaha'.
Berikut dari Pasal 40 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan jelas mengatur bahwa Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan. Artinya tanpa izin lingkungan maka kegiatan usaha menjadi tidak sah. UU 32/2009 dapat kita pahami artinya memberikan dasar hukum yang kuat mengenai adanya keterkaitan itu, bahwa pembentuk UU 32 tahun 2009 pada saat itu memberikan kewenangan kepada kementerian yang memiliki portfolio lingkungan hidup untuk memiliki posisi tawar (bargaining position) yang sama dengan kementerian yang memiliki kewenangan izin usaha.
Keterkaitan sebagaimana diatur dalam pasal 40 UU No. 32 Tahun 2009 ini penting untuk ditegaskan dalam UU karena kondisi egoisme sektoral dari kementerian teknis masih sangat tinggi. Keterkaitan Izin lingkungan dengan izin berusaha sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (2) kemudian diperkuat dengan Pasal 109 UU 32/2009 yang menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan usaha atau kegiatan tanpa izin lingkungan dipidana.Norma ini merupakan implementasi dari sistem perizinan berantai (ketting vergunningen systeem). Artinya UU 32 tahun 2009 mengatur bahwa izin lingkungan dan izin usaha dan/atau kegiatan dikonstruksikan sebagai suatu Keputusan TUN, yang mandiri namun saling terkait (interrelation), terhubung (interconnection), dan saling ketergantungan (interdependen). Yang dimaksud 'mandiri' adalah masing-masing menimbulkan akibat hukum dan dapat menjadi objek sengketa TUN.
Kesimpulannya, secara hukum tidaklah benar bahwa dalam UU 32 tahun 2009 kalau izin lingkungan DICABUT kegiatan dapat terus berjalan. Berdasarkan UU 32 tahun 2009 (pasal ini dirubah oleh UU CK), Instansi pemberi izin usaha tidak hanya wajib membatalkan/mencabut izin usaha apabila izin lingkungan dicabut, tetapi lebih dari itu, apabila kegiatan diteruskan oleh pemegang izin usaha tanpa izin lingkungan, pemilik kegiatan tersebut dapat DIPIDANA.
Pasal-pasal keterkaitan antara izin lingkungan dan izin usaha berdasarkan UU 32 tahun 2009 ini diganti oleh UU CK di 2 bagian :
(1) Izin lingkungan dihapuskan akan tetapi output Amdal yaitu RKL dan RPL, serta UKL dan UPL wajib dimuat dalam perizinan berusaha atau persetujuan pemerintah pusat atau pemerintah daerah sebagai persyaratan lingkungan hidu;
(2) Kegiatan usaha yang menjalankan kegiatan yang tidak memiliki Perizinan Berusaha tidak dipidana seperti pasal 109 UU 32 tahun 2009, kecuali kegiatan yang tidak berizin tersebut menimbulkan korban/kerusakan terhadap kesehatan, keamanan , keselamatan dan lingkungan, dengan ancaman hukuman paling lama 3 tahun penjara dan/atau denda Rp 3 Milyar rupiah. Artinya, pidana baru bisa dijatuhkan apabila telah menimbulkan akibat. Orientasi pemidanaan hanya terbatas pada delik material, menunggu ada akibat terlebih dahulu. Sementara itu, usaha dan/atau kegiatan tanpa izin hanya dikenakan sanksi administratif.
Saya ragu bahwa instansi yang menerbitkan Perizinan Berusaha mampu mengontrol kegiatan yang melanggar aturan lingkungan hidup.
Apabila kewenangan pengawasan kepatuhan tidak berada pada kementerian atau dinas teknis yang bertanggung jawab di sektor teknis lingkungan hidup seperti KLHK.
Keraguan didasarkan berbagai alasan:
(1) paradigma UU CK sangat jelas heavy economic growth, bukan _sustainable development_. Artinya instansi penerbit Perizinan Berusaha misi utamanya adalah mendorong, menjaga dan melindungi investasi
(2) Dalam UU CK tidak diatur instansi mana yang bertanggung jawab melakukan pengawasan kepatuhan _(compliance monitoring)_
(3) Apabila dalam PP sebagai turunan UU CK, KLHK dan dinas lingkungan ditugaskan melakukan pengawasan kepatuhan seperti saat ini, apakah akan diatur kewajiban instansi pemberi izin usaha melaksanakan dan menindaklanjuti* hasil pengawasan kepatuhan ygg dilakukan kementerian lingkungan hidup dan kehutanan atau dinas LH provinsi? Ketentuan-ketentuan seperti ini tidak ditemukan di UU CK.
Membandingkan antara pengaturan perizinan berdasarkan UU 32 tahun 2009 dengan UU CK dapat disimpulkan sebagai berikut:
(1) hilangnya Izin lingkungan dalam UU CK menghilangkan power KLHK untuk menjaga daya dukung ekosistem. KLHK hanya bisa mengendalikan kegiatan usaha untuk tidak mencemari dan merusak lingkungan *hanya dengan izin lingkungan*. KLHK tidak bisa mencabut perizinan berusaha. Dengan hilangnya izin lingkungan, maka power KLHK hilang untuk mengendalikan suatu kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan. Kewenangan yang lain seperti penegakan hukum pidana dan perdata biasanya bukan bersifat pencegahan karena dampak dan kerugian sudah terjadi.
(2) Tidak terlalu jelas instansi mana yang diberi kewenangan melakukan pengawasan kepatuhan (apakah KLHK atau instansi lain), karena memang tidak diatur dalam UU CK
(3) Kalaupun dalam PP nantinya mengatur kewenangan KLHK melakukan pengawasan kepatuhan, apakah UU CK yang _economic growth heavy_ berani mengatur bahwa instansi pemberi izin usaha wajib mentaati hasil pengawasan kepatuhan yang dilaksanakan KLHK dan dinas lingkungan?
(4) Hilangnya izin lingkungan berarti hilangnya peluang peran serta masyarakat dalam proses perizinan lingkungan sebagaimana diatur dalam PP 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan. Sedangkan peran serta masyarakat dalam proses amdal kualitasnya dibatasi, subyeknya dibatasi, dan bangunan peran serta masyarakat berbasis pemangku kepentingan dihapuskan. Proses perizinan berusaha dalam UU CK tidak mengenal peran serta masyarakat, sehingga UU CK ini sepertinya tidak terlalu mementingkan peran serta masyarakat.
*Kesimpulannya*,
(1) Saya tidak melihat penghapusan izin lingkungan yang digantikan dengan persetujuan lingkungan akan mempekuat upaya perlindungan lingkungan.
(2) Saya juga tidak melihat kewajiban meleburkan hasil akhir Amdal kedalam Perizinan Berusaha berdasarkan UU CK dapat mendorong kepatuhan pelaku kegiatan ekonomi karena UU CK tidak mengatur subyek yang melakukan pengawasan kepatuhan, ditambah dengan spirit _economic growth heavy_ menyulitkan posisi Instansi penerbit Perizinan Berusaha untuk menerapka sanksi dengan tegas, seperti pencabutan izin kepada pemilik kegiatan usaha.
Sumber:
Mas Achmad Santosa
Pakar Hukum Lingkungan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar